Laporan Global Cancer Statistics (GLOBOCAN) menyatakan bahwa penderita kanker dunia berpotensi meningkat sebesar 47% pada tahun 2040. Sebanyak 28,4 juta kasus berbagai jenis kanker akan muncul, dan salah satu yang diprediksi paling tinggi adalah kanker payudara. Populasi penderita kanker payudara di Indonesia sendiri mencapai 19,2% dari seluruh populasi penderita kanker. Jumlah tersebut membuat kanker payudara menjadi penyebab kematian tertinggi kedua setelah kanker paru-paru.
Sampai saat ini, teknologi penyembuhan dan penghambat pertumbuhan kanker berbasis bioaktif telah banyak dikembangkan. Penelitian tim mahasiswa UGM berhasil mengembangkan alternatif terapi kanker payudara dengan CurcumaPharphene. Pasalnya, senyawa yang terkandung dalam kunyit tersebut memiliki zat anti-kanker untuk membantu pemulihan pasien kanker payudara. “Hasil penelitian kita ternyata kunyit mengandung zat yang lebih tinggi dan efektif dibanding ekstrak kunyit biasa,” kata Ketua CurcumaPharphene Research Team, Afnan Syifa’ Muhammad, Sabtu (20/7).
Selain Afnan, CurcumaPharphene Research Team beranggotakan empat orang lainnya, yakni Muhammad Nino Irwana (Fakultas Farmasi), Gabriella Kanya Sapto Putri (Fakultas Farmasi), Jennifer (Fakultas Farmasi), dan Durroh Sofiana (Fakultas MIPA) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ritmaleni, S.Si., Dosen Fakultas Farmasi UGM.
Melalui program Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Eksakta (PKM-RE), tim ini menguji kandungan alami dalam kunyit sebenarnya selama ini dikenal memiliki kandungan efektif sebagai zat anti-kanker. Turunannya yang dikenal dengan nama Pentagamavunon-1 (PGV-1) merupakan senyawa hasil sintesis yang berfungsi sebagai antiinflamasi dan antikanker.
Menurut Afnan, meskipun pemanfaatan zat tersebut sudah cukup umum, kandungannya dalam kunyit belum maksimal untuk membunuh sel kanker di tubuh dengan tepat. Afnan dan tim menemukan potensi penggunaan graphene atau grafena yang mampu meningkatkan kinerja Pentagamavunon-1.
Nanomaterial graphene serta turunannya, seperti graphene oxide dan graphene quantum dots adalah material yang diketahui memiliki luas permukaan yang sangat besar sehingga memiliki drug loading capacity yang sangat baik. “Kelebihan ini memungkinkan kandungan yang dibawa dalam satuan nanopartikel lebih banyak dibanding material lainnya,” ujarnya.
Gabriella Kanya Sapto Putri, anggota tim lainnya menuturkan pada penelitian tersebut, ekstrak kunyit (curcumin) yang dikomplekskan dengan graphene oxide dan graphene quantum dots sebagai penghantar obat terhadap sel MCF-7 kanker payudara terbukti memiliki potensi yang lebih baik daripada curcumin biasa, hingga mencapai delapan kali lipat (800%). “Dengan kombinasi ini, berpotensi dapat membantu penderita kanker payudara di luar sana,” katanya.
Ia menjelaskan Graphene adalah nanobased material dua dimensi yang memiliki kekuatan hingga 200x lebih kuat daripada baja. Graphene juga memiliki konduktivitas listrik 70% lebih baik dibanding tembaga,” terang Jennifer, salah satu anggota tim. Fleksibilitas yang dimiliki graphene terlampau tinggi, yakni daya renggang lebih dari 40%. Graphene juga sangat tipis, ringan, dan bahkan nyaris transparan, sehingga mudah untuk diaplikasikan di berbagai bidang. Salah satunya adalah bidang farmasi.
Selama ini potensi graphene di bidang farmasi dapat dimanfaatkan sebagai nanocosmetic, nanobiosensor, dan nano drug delivery system. Kemoterapi oral sebagai salah satu metode pengobatan kanker memerlukan drug delivery system yang kuat untuk meningkatkan efektivitas dan menurunkan efek samping. “Drug delivery saat ini dinilai masih belum cukup efektif untuk digunakan sebagai kemoterapi secara oral. Oleh karena itu, graphene digadang-gadang sebagai drug delivery system baru untuk merevolusi kemoterapi secara oral,” tutur anggota tim lainnya, Nino.
Nino optimis bahwa hasil penelitian ini mampu merevolusi perkembangan dunia farmasi di Indonesia. Inovasi ini sekaligus mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-3, yakni kehidupan sehat dan sejahtera.
Penulis: Tasya
Editor: Gusti Grehenson