Pembangunan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menjadi agenda prioritas nasional yang tergabung dalam 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) prioritas. TNBTS sebagai KSPN prioritas didesain sebagai kawasan ecotourism untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan perspektif dan kepentingan indigenous people atau masyarakat adat.
“Sayangnya, pengembangan TNBTS sebagai KSPN justru mengabaikan perspektif dan kepentingan indigenous people, yakni suku Tengger atau Wong Tengger,” kata Danu Saifulloh Rahmadhani, salah satu tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM RSH) UGM, Rabu (4/10).
Mahasiswa Fakultas Filsafat ini menuturkan bentuk nyata pengabaian yang dialami oleh Wong Tengger di Desa Ranu Pani, Kecamatan Senduro, Lumajang, Jawa Timur terlihat dari kurangnya keterlibatan Wong Tengger sebagai subjek pembangunan dalam perencanaan dan manajemen kawasan TNBTS. Kurangnya keterlibatan ini memunculkan benturan kepentingan antara Wong Tengger dengan pihak otoritas TNBTS yang secara formil menegaskan batas-batas pemanfaatan sumber daya. Justru Wong Tengger sebagai pihak terdampak tidak diakomodasi atau diberikan alternatif lain.
Kurangnya keterlibatan aktif Wong Tengger dalam pengembangan konservasi dan pariwisata TNBTS menjadi ironi karena tidak sesuai cita-cita pembangunan berkelanjutan. Konservasi dan pariwisata dalam konteks pembangunan berkelanjutan seharusnya mempertimbangkan perspektif indigenous people dan tidak serta-merta dalam perspektif pihak lain karena dapat menimbulkan sebuah konflik kepentingan.
“Masyarakat Tengger di Desa Ranu Pani yang bersinggungan langsung dengan proyek KSPN di wilayah TNBTS ternyata merasa kurang dilibatkan aktif dalam proses pengambilan keputusan dalam pengembangan TNBTS tersebut,” paparnya.
Kondisi tersebut mendorong Danu bersama dengan timnya yaitu Wahida Okta Khoirunnisa (Filsafat), Iswan Bahri (Pariwisata), Berlin Situmorang (Sosiologi), dan Maria Evivani Yonanda (Kehutanan) berusaha meneliti secara mendalam terhadap Wong Tengger atau masyarakat asli suku Tengger yang mendapatkan pengaruh dari adanya proyek KSPN tersebut. Mereka melakukan riset selama 4 bulan dengan judul “Wong Tengger Worldview Masyarakat Ranu Pani sebagai Paradigma Pengembangan Indigenous Ecotourism di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru”.
Riset dilakukan menggunakan pendekatan fenomenologi dengan teori worldview. Fenomenologi digunakan untuk mengungkap makna atau esensi dari sebuah fenomena di masyarakat dan kemudian diidentifikasi menggunakan teori worldview untuk memperoleh pengetahuan dasar yang dihayati oleh masyarakat Desa Ranu Pani. Oleh karenanya, tim berusaha mendeskripsikan dinamika sosial-ekonomi Wong Tengger di Desa Ranu Pani dan kemudian menganalisis sistem worldview yang dihayati oleh mereka. Hasilnya adalah sebuah strategi pengembangan indigenous ecotourism di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, tutup Maria Evivani Yonanda.
Wahida Okta Khoirunnisa turut menambahkan dari wawancara yang dilakukan kepada Wong Tengger diketahui ada ketimpangan pengetahuan dan kuasa yang mengakibatkan ketidakberdayaan dalam pemanfaatan wilayah adat yang secara historis sudah mereka miliki sejak dahulu kala. Wong Tengger juga merasa hanya menjadi wong cilik (orang kecil) sehingga tidak memiliki kuasa untuk ikut andil dalam pembangunan.
“Permasalahan antara Wong Tengger dengan pihak otorita TNBTS secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni ketidakseimbangan kekuasaan, transfer pengetahuan yang tidak lancar, dan kurangnya kepercayaan yang terbangun antar sesama,”urainya.
Iswan Bahri menjelaskan bahwa gesekan kedua pihak tersebut sangat terlihat dalam pembangunan proyek Gunung Gendhing yang sempat menjadi kontroversi di kalangan Wong Tengger. Proyek tersebut dikatakan tidak melibatkan persetujuan masyarakat adat. Padahal, proyek yang dibangun itu berada pada tanah yang dianggap sakral oleh masyarakat Tengger.
Sementara Berlin Situmorang menambahkan justru Wong Tengger yang telah memiliki basis pengetahuan lokal tradisional dapat dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan. Pengetahuan lokal tersebut terwujud dalam sistem worldview yang telah turun temurun dilakukan oleh Wong Tengger. Worldview Wong Tengger menjadi penting untuk dijadikan jawaban atas permasalahan yang terjadi.
Penulis: Ika
Foto: Tim PKM