
Kasus bunuh diri akhir-akhir ini kerap melintas di linimasa media sosial, media massa hingga elektronik yang tidak sedikit korbannya adalah perempuan. Namun, berita seperti ini tidak akan lama dan akan menghilang dengan berjalannya waktu. Namun dari beberapa kasus bunuh diri yang belakangan terjadi akibat tekanan ekonomi yang sering dihadapi perempuan atau Ibu rumah tangga.
Perempuan atau Ibu kerap kali dibebani tanggung jawab ganda dalam rumah tangga. Mereka harus mengatur keuangan keluarga, mengurus anak, dan menjaga martabat keluarga, hingga kerap kali menghadapi teror penagih utang dan stigma sosial. Sehingga memikul beban terberat ketika ekonomi rumah tangga runtuh.
Manajer Center for Public Mental Health (CPMH) UGM, Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog, mengungkapkan fenomena bunuh diri, tidak lepas dari banyak faktor yang melatarbelakangi, baik sosial, psikologis, dan juga ekonomi. Namun demikian, secara umum kasus bunuh diri umumnya disebabkan karena adanya tekanan hidup yang luar biasa sehingga tidak bisa lagi dikelola dengan baik oleh seseorang. “Tekanan hidup yang luar biasa bisa menimpa siapapun, baik yang sifatnya kronis atau yang akut,” ungkap Nurul, Jumat (19/9).
Nurul menjelaskan pada perempuan, peran ganda yang dijalani, baik sebagai ibu rumah tangga, sebagai istri dan juga tidak jarang sebagai tulang punggung utama keluarga, dapat menjadi salah satu pemicu utama. “Beban yang berlipat sebagai penanggung peran ganda berpotensi menyebabkan individu berada di titik yang sangat rendah”, jelasnya.
Ketika tekanan ini ditambah dengan stigma sosial, tuntutan standar norma masyarakat, dan juga teror-teror dari sisi ekonomi, maka kesehatan mental mereka rentan untuk terganggu dan semakin berpotensi untuk memunculkan tindakan-tindakan ekstrem bunuh diri sebagai jalan keluarnya.
Ia menyebutkan, terdapat beberapa penyebab utama fenomena bunuh diri dari sisi kesehatan mental. Stress negatif yang sangat dan kecemasan berlebih membuat individu yang bersangkutan jadi merasa gelisah sepanjang waktu hingga overthinking terhadap semua hal sehingga memperburuk kondisi mentalnya. Hal tersebut ditambah tata kelola emosi dan pikiran yang tidak matang yang menyebabkan tekanan dari masalah menjadi semakin berat dan terasa tidak bisa dikendalikan lagi. “Pikiran putus asa dan tiada harapan yang membuat individu merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan dan diharapkan untuk bisa membantunya mencari solusi,” katanya.
Selain beberapa faktor di atas, faktor sosial budaya di dunia digital juga merupakan hal yang harus dicermati dengan seksama, tambahnya, bagaimana pola interaksi yang berkembang di dunia digital khususnya media sosial dapat berkontribusi secara signifikan pada kondisi kesehatan mental seseorang. “Copycat suicide misalnya, atau tindak bunuh diri karena terpapar berita atau informasi tentang bunuh diri orang lain adalah hal yang sangat potensial terjadi karena pertukaran informasi dan budaya di dunia digital yang semakin tidak terkendali,” terang nurul.
Nurul juga menjelaskan upaya pencegahan bunuh diri membutuhkan pendekatan yang komprehensif, bukan hanya fokus pada salah satu aspek saja. Ia menekankan peningkatan literasi kesehatan mental, agar kepekaan terhadap kondisi kesehatan mental diri dan orang lain meningkat sehingga kemampuan deteksi dini terhadap masalah kesehatan mental juga ikut terasah dengan baik. Disisi lain penyediaan akses layanan psikologis yang terjangkau dan penguatan ketahanan diri agar para perempuan menjadi semakin berdaya merupakan hal yang esensial. Selain itu, Nurul juga menegaskan bahwa mengubah stigma sosial, dengan salah satunya mengubah segala bentuk narasi menjadi bernuansa empati dan dukungan. “Media dan figur publik seperti orang berpengaruh di masyarakat memiliki peran penting dalam mengubah narasi negatif mengenai perempuan dan segala bebannya,” pungkasnya.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik