
Fear of Missing Out atau biasa disebut FOMO adalah kondisi psikologi yang ketakutan melewatkan momen atau peristiwa yang tengah populer di lingkungannya. Perilaku takut tertinggal ini dapat menjadi malapetaka bagi seseorang yang tidak berhati-hati. Belakangan ini, kasus modus penipuan prang tiket konser banyak menyasar Gen-Z akibat fenomena FOMO. Keinginan dari para Gen-Z untuk terus takut tertinggal informasi di sosial media membuat mereka tidak jarang tergiur iming-iming harga murah dari ‘penjual tiket palsu’. Banyak sekali ditemui calo-calo di venue acara yang menjual tiket dengan harga minimal sama atau bahkan lebih mahal, karena tingginya permintaan anak muda Gen-Z menonton konser.
Dalam tiga tahun terakhir jumlah korban terus meningkat dan fenomena semacam ini adalah sebuah celah penipuan yang terus berulang dan tidak mendapat perhatian serius karena dianggap masalah sepele. Celah penipuan ini memanfaatkan rekayasa sosial yang memanfaatkan kebutuhan hiburan masyarakat yang semakin tinggi, terutama untuk konser artis dari luar negeri. Para pelaku memanfaatkan antusiasme ini dengan memainkan emosi korban yang memang ingin sekali hadir di konser-konser ini. Dalam penelusuran terakhir ditemukan bahwa fenomena ini terjadi akibat dari adanya praktik jual beli rekening.
Deputi Sekretaris Eksekutif Center of Digital Society (CFDs), Iradat Wirid, menyampaikan bahwa adanya makelar rekening ini disebabkan oleh belum maksimalnya literasi finansial di Indonesia. “Skor kita untuk literasi keuangan menurut OJK masih di 60an persen, bahkan menurut OECD masih dibawah rata-rata dunia skornya,” ungkapnya, Rabu (26/2).
Persoalan ini ditambah dengan rendahnya literasi keamanan digital Pemahaman masyarakat untuk memahami betapa pentingnya akses rekening untuk tidak dipergunakan selain pada kebutuhan yang legal dan personal, masih harus ditingkatkan.
Selain itu, pemahaman mengenai bahaya pencucian uang dengan skema makelar rekening ini juga harus diberikan sejak usia pelajar. Mereka yang sudah bisa mengakses pembuatan rekening, menjadi salah satu yang disasar pada model kejahatan seperti ini. “Jangan hanya karena fee transaksi yang menggiurkan, rekening kita menjadi tempat cuci uang, dan bisa berujung pidana karena kita terlibat dalam praktik kejahatan”, tegasnya.
Terlebih sekarang banyak muncul bank digital atau payment system yang dengan mudah diproses, tidak perlu ke bank, hanya perlu foto KTP dan pendaftaran via digital, sudah bisa jadi rekening bank digital.
Dalam hal ini, Iradat menegaskan pemerintah seharusnya bisa membuat aturan turunan yang lebih konkret terkait transaksi elektronik yang tercantum di UU ITE. Salah satu yang bisa diambil juga adalah tentang pengetatan aturan sim card dan pendaftaran nomor ponsel, yang selama ini dijadikan celah para penjahat. Modus yang digunakan adalah menggunakan nomor KTP orang lain untuk mendaftar nomor baru yang akan digunakan untuk mendaftar sosial media dan platform jual beli. Jika hal ini diperketat dan ditambah dengan penguatan identifikasi rekening bermasalah yang mudah diakses masyarakat, seharusnya kejahatan seperti ini semakin menurun. “Saya melihat upaya pemerintah setengah hati, padahal potensi dari industri musik terutama konser semacam ini sangat besar”, ungkapnya.
Untuk mengantisipasi modus seperti ini, Iradat menghimbau masyarakat untuk memastikan identitas penjual jelas. Apabila memungkinkan lebih baik untuk bertemu langsung dengan si penjual. Setelah itu lakukan background checking seperti memeriksa username, nomor handphone, nomor rekening di aplikasi pengecekan. Apabila penjual meminta pembayaran uang muka masyarakat harus sangat berhati-hati. “Penjual akan memainkan emosi dengan seolah-olah peminatnya banyak, sehingga harus DP terlebih dahulu, terkadang kalau lengah kita akan menuruti saja hal-hal seperti ini”, jelasnya.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik