Sejak berabad-abad lalu, Indonesia memiliki potensi sumber daya yang melimpah. Keragaman budaya dan rempah-rempah menjadi daya tarik tersendiri di mata dunia. Potensi ini perlu dikembangkan agar mampu menjadi nilai jual sekligus fondasi ketahan pangan nasional. Direktorat Penelitian Universitas Gadjah Mada mengangkat topik ini dalam Webinar Series II Kosmopolis Rempah bertajuk “Dari Kerja Paksa hingga Bisnis Petai: Perdagangan Rempah dan Ketahanan Pangan” pada Rabu (21/2).
“Kosmopolis Rempah itu dimaknai sebagai sebuah zona atau wilayah baik urban maupun suburban yang terhubung secara langsung maupun tidak langsung oleh suatu dimensi produksi, konsumsi rempah yang berkaitan dengan teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, perdagangan, dan budaya sehingga membentuk suatu peradaban,” terang Prof. Dr. Mustofa, Apt, M.Kes. Dahulu, jalur rempah tidak hanya sekedar jalur perdagangan dunia. Perkembangan dan pertukaran budaya, serta pengetahuan yang kita rasakan saat ini adalah hasil dari terbukanya jalur rempah tersebut.
Perdagangan rempah-rempah memiliki sejarah kelam bagi masyarakat. Pada tahun 1621, masyarakat Pulau Banda dibantai oleh pasukan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan dipaksa pergi dari tanah kelahiran mereka. Genosida ini dilakukan untuk menguasai sumber daya rempah yang sangat diincar oleh penduduk Eropa kala itu. Setelah wilayah Pulau Banda kosong, VOC mendatangkan tenaga kerja Makassar, Bugis, Melayu, Jawa, Cina, Maluku, dan Buton untuk bekerja di bawah naungan mereka. Kejadian naas ini diabadikan pada Monumen Parigi Rate yang terletak di Banda Neira, Maluku.
“Kebun pala di Pulau Banda itu disebut dengan perk/perken. Pemilik dari perkebunan pala disebut dengan perkenier, mereka berasal dari orang-orang Eropa yang direkrut oleh VOC untuk mengelola perkebunan di Banda. Mereka memberikan pengumuman di Eropa dan Batavia pada saat itu, dan banyak yang mendaftar, terutama veteran militer,” ucap Dr. Umi Barjiah, MA dari Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kala itu, setidaknya terdapat 83 lahan kebun pala yang digabung atau dibeli oleh pemilik kebun pala lainnya, sehingga tersisa 34 kebun di Kepulauan Banda, 25 di Pulau Lonthor, 6 di Pulai Aij, serta 3 di Neira.
Komoditas rempah-rempah masih menjadi komoditas andalan yang diekspor Indonesia. Terbukti dengan tingginya perdagangan lada, cengkeh, pala, hingga kayu manis ke negara-negara Eropa. Menurut Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr., ahli dari Fakultas Teknologi Pertanian UGM, potensi ini bisa menjadikan ketahanan pangan Indonesia lebih kuat dibanding negara lain. Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan Negara ASEAN, Indonesia masih menduduki peringkat 4 di bawah Vietnam. Padahal, dengan kondisi geografis yang menguntungkan, potensi agraria harusnya mampu mendongkrak ketahanan pangan nasional.
“Kita dalam kondisi serius, kondisi memprihatinkan. Itu menurut indeks global. Rempah-rempah ini tumbuh dengan mudah di negara tropis, perawatan dan ketahanannya juga mudah. Mudah diusahakan dengan skala kecil dan skala besar. Pangsa pasarnya itu diperkirakan ada 8,4 miliar dollar pada akhir 2028,” tutur Prof. Djagal. Pasar herbal dan rempah-rempah kering dunia diprediksi akan naik terus di masa depan. Peluang ini tentunya sangat menjanjikan bagi komoditas rempah Indonesia.
Tak hanya rempah-rempah, stinky beans atau kacang-kacangan dengan bau menyengat, seperti petai dan jengkol juga memiliki potensi tinggi. Tanaman petai dan jengkol tumbuh subur di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Lahan-lahan petai dan jengkol umumnya dimiliki oleh warga secara mikro dan menyebar, tidak dalam satu lahan yang besar. “Proses produksi dan distribusi perdagangan petai ini masih kurang baik. Pengangkutan dilakukan besar-besaran, ditumpuk, untuk menghemat biaya. Padahal, kalau diperhatikan petai setelah dipanen masih melakukan respirasi, dan ini berpengaruh terhadap kualitas petai tersebut,” papar Prof. Dr. Ir. Supriyadi., M.Sc, dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM.
Webinar Kosmopolitan II ini diselenggarakan untuk mendukung adanya forum diskusi untuk memaksimalkan potensi komoditas dalam negeri. Nantinya, nilai jual komoditas tersebut mampu menopang ekonomi, bahkan menjadi kunci ketahanan pangan nasional. Sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-2, yakni tanpa kelaparan. UGM berkomitmen mendukung upaya tersebut agar tercipta masyarakat berswasembada dan berkelanjutan.
Penulis: Tasya