Kemunculan media sosial sebagai platform baru yang berbasis internet dan digital ternyata membawa perubahan dalam hal penyampaian pesan ataupun kritik sosial. Di Indonesia, pengguna media sosial sejumlah 191 juta orang dengan 54% berada pada rentang usia 18-34 dan rata-rata penggunaan selama 3 jam 14 menit per harinya. Memiliki keunggulan interaktivitas dan berjejaring, sebuah pesan bisa diciptakan dengan sedemikian rupa, tidak hanya dalam bentuk tulisan tetapi juga dalam bentuk gambar ataupun video, sehingga dapat memunculkan aktivisme digital yang bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap gaung sebuah isu.
“Aktivisme digital perlu dipahami sebagai pilihan yang diambil oleh individu, komunitas, ataupun organisasi masyarakat setempat untuk memperjuangkan sesuatu secara lebih aktif, bukan hanya supaya bisa cepat lepas tangan dari isu tersebut,” ungkap Iradat Wirid, S.I.P., Deputi Sekretaris Eksekutif CfDS UGM, Rabu (25/9), pada kegiatan Sekolah Wartawan yang berlangsung di ruang Fortakgama UGM.
Iradat menambahkan, seringkali masyarakat ketika sudah menandatangani petisi, mereka merasa sudah terlibat pada suatu pergerakan sosial tanpa perlu berpartisipasi sampai tujuan dari isu tersebut tercapai. Hal ini yang menyebabkan aktivisme digital selalu pupus di tengah jalan dan tidak pernah sampai pada tujuan akhir, karena masyarakat hanya fokus pada kuantitas bukan kualitas dari aktivitas digital yang dilakukan.
Iradat menjelaskan ada beberapa hal yang menyebabkan anak muda memilih media sosial untuk aktivisme digital. Selain aksesibilitas yang luas, biaya yang rendah, kecepatan penyebaran informasi, interaktivitas dan partisipasi publik, pengorganisasian aksi juga dianggap lebih mudah. “Aksi peringatan darurat yang lalu hampir semuanya terjadi di ruang digital, tidak pernah ada yang bertemu langsung. Mereka tinggal buat poster lewat canva lalu di share di grup-grup yang menurut mereka influential untuk aktivisme digital,” ujarnya.
Selain itu, anonimitas, medium yang lebih luas, serta viralitas dan amplifikasi juga menjadi poin penting anak muda untuk melakukan aktivisme digital di media sosial. Mereka merasa cemas atau khawatir ketika kurang berpartisipasi pada momen atau peluang penting. Momentum dan viralitas di media sosial penting bagi aktivisme digital. “Apalagi sekarang kebijakan atau keputusan yang dilakukan pemerintah itu basisnya adalah viralitas. Viral dulu baru ditangani, dan terbukti kan, aksi peringatan darurat kemarin bisa merubah suatu kebijakan,” tuturnya.
Iradat juga menjabarkan kelebihan twitter atau X sebagai platform media sosial dalam aktivisme digital di Indonesia. Menurutnya, X dinilai lebih baik untuk mengomunikasikan ide dan gagasan dalam suatu aktivisme digital melalui tagar atau hashtag. Hashtag ini yang menjadi pengingat bagi pengguna akan suatu isu atau gerakan sosial yang sedang terjadi. Dengan ruang yang lebih sempit, pengguna akan belajar untuk menulis efektif guna meyakinkan orang lain. Meskipun jumlah penggunanya tidak sebanyak pengguna media digital lain, X terbukti efektif sebagai pematang atau wadah untuk ‘menggoreng’ isu sampai tuntas. “Range usia pengguna juga luas ya, contohnya Pak Mahfud MD itu saya yakin megang akunnya sendiri. Jadi meskipun jumlah pengguna tidak sebanyak Instagram dan TikTok, tapi isu sosial dan politik banyak dibahas di sini, dimatangkan, lalu diunggah ke media daring dan platform lain,” jelasnya.
Namun dibalik kemudahan aktivisme digital dalam memperjuangkan banyak isu, terdapat tantangan dalam lanskap regulasi maupun praktik di lapangan yang harus dihadapi. Serangan siber (hacking) berupa teror, peretasan akun media sosial, penyebarluasan data pribadi secara publik (doxing), memperlambat jaringan internet secara senyap (throttling) hingga pemutusan jaringan merupakan contoh kegagalan pemerintah dalam regulasi dan penegakan hukum terkait dengan perlindungan terhadap aktivisme digital. “UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan PDP (Perlindungan Data Pribadi) justru malah rentan digunakan untuk meredam suara kritis terhadap pemerintah. Jadi selama ini aturan hukum hanya untuk masyarakat, tapi tidak ada yang untuk pemerintah. Ini yang harus diperbaiki,” pungkas Iradat.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Firsto