
Pemerintah menyiapkan mega proyek senilai Rp 72 triliun untuk memperkuat sektor perikanan nasional. Program ini mencakup pembangunan 1.100 Kampung Nelayan Merah Putih, revitalisasi tambak pantai utara (pantura), serta modernisasi 1.000 kapal perikanan. Paket ekonomi tersebut ditargetkan menyerap 568.000 tenaga kerja sekaligus memperkuat daya saing industri perikanan dan menekan kesenjangan kesejahteraan nelayan di berbagai daerah.
Menanggapi rencana tersebut, Guru Besar UGM bidang sosial ekonomi perikanan Prof. Suadi, menilai mega proyek tersebut sangat ambisius dan berpotensi mengubah wajah perikanan Indonesia jika terlaksana dengan baik. “Jika berjalan baik, proyek ini bisa menjadi lompatan struktural yang mengubah perikanan tradisional menjadi industri perikanan modern,” kata Suadi, Senin (29/9).
Suadi menyebutkan ada tantangan besar yang harus diantisipasi dalam menjalankan mega proyek ini. Menurutnya, revitalisasi tambak pantura, misalnya, harus mampu mengelola persoalan mendasar seperti kerusakan ekosistem pesisir, banjir rob, dan kepemilikan lahan. Lalu, pembangunan Kampung Nelayan Merah Putih pun tidak boleh sebatas fisik, tetapi juga harus menjamin ketersediaan fasilitas dasar seperti air bersih, listrik, sanitasi, akses jalan, dan cold storage. “Infrastruktur ini penting untuk memperkuat sistem rantai dingin yang selama ini menjadi titik lemah bisnis perikanan,” ujarnya.
Suadi juga mengingatkan bahwa masalah kepemilikan tambak dan kapal kerap menimbulkan kesenjangan. Tanpa pola kolektif berbasis koperasi atau BUMDes, proyek besar ini berpotensi hanya menguntungkan pemilik modal. Ia mencontohkan program 1.000 kapal era Presiden SBY yang banyak mangkrak karena biaya operasional tinggi.
Selain tata kelola, keterlibatan masyarakat pesisir juga harus dipastikan. Menurutnya, koperasi perikanan harus diperkuat agar nelayan kecil bisa mengakses kapal, tambak, maupun pembiayaan usaha secara kolektif. “Desain proyek top-down yang seragam berisiko tidak sesuai kebutuhan lokal. Padahal setiap kampung nelayan punya karakter sosial, budaya, dan geografis yang unik,” kata Suadi.
Tantangan lain adalah memastikan pasar dan logistik ikan. Sebab, produksi tinggi tanpa kepastian pasar justru bisa menjadi beban bagi nelayan. “Akses pasar dan distribusi logistik harus menjadi bagian integral dari program,” jelasnya.
Terkait dana jumbo Rp 72 triliun, Suadi menegaskan pentingnya mekanisme pengawasan yang transparan dan melibatkan publik. Ia bahkan mengusulkan adanya platform khusus seperti Kawal Perikanan agar masyarakat bisa ikut memantau lokasi proyek, penerima manfaat, dan progres pelaksanaan.“Pengawasan harus kolaboratif, bukan sekadar reaktif. Keterlibatan publik, akademisi, hingga tokoh lokal akan memastikan program ini tidak menjadi ‘kotak hitam’ yang rawan penyalahgunaan,” ungkapnya.
Ia menekankan perlunya audit berlapis, baik dari internal KKP, BPK, maupun KPK, serta penegakan hukum yang tegas untuk mencegah praktik korupsi. Jika dilaksanakan dengan tata kelola yang baik, mega proyek Rp 72 triliun ini diharapkan tidak hanya memperluas lapangan kerja, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi pesisir. “Investasi besar ini harus menyasar kesejahteraan nelayan kecil, perempuan nelayan, dan pembudidaya skala rumah tangga, bukan hanya korporasi besar,” pungkasnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Kompas