Ratusan para budayawan, pegiat seni dan akademisi mengikuti simposium Arikipelagis: Refleksi Kebudayaan di Gelanggang Inovasi Kreasi (GIK) UGM, Selasa (28/1). Simposium yang digelar oleh para budayawan dan seniman Yogyakarta ini sekaligus menyertai purna tugas Hilmar Farid sebagai Dirjen Kebudayaan 2015-2024 dan mengelaborasikan kontribusinya dalam kerja-kerja kebudayaan. Simposium ini digelar sebagai ruang refleksi terhadap capaian dan pembelajaran dari kerja-kerja kebudayaan sebelumnya, menjadi langkah penting untuk menentukan arah strategis kebudayaan Indonesia di masa depan.
Gubernur DIY sekaligus Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Hilmar Farid Dirjen Kebudayaan 2015-2024, budayawan Butet Kartaredjasa juga banyak lainnya termasuk perupa Nasirun. Sejumlah pembicara refleksi kebudayaan juga menyampaikan gagasannya.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam kesempatan ini mengungkapkan gagasannya tentang kebudayaan Indonesia baru. Bahwa kebudayaan Indonesia baru tersebut hendaknya maju dan beradab.”Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan, dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya, dari generasi ke generasi,” ungkap Sultan.
Ia menyampaikan urgensi membangun budaya yang visioner, melalui konsep Kebudayaan Indonesia Baru. Konsep tersebut sejatinya berkelindan dengan ide besar ”arkipelagis”. Hal itu, katanya, merupakan gagasan, yang merangkai akar tradisi, dengan energi pembaruan untuk masa depan bangsa. Sebuah visi, yang memadukan kearifan lokal dengan dinamika zaman, demi kemaslahatan rakyat Indonesia.”Dalam hal ini, hendaknya Bhinneka Tunggal Ika, bukan hanya digunakan sebatas slogan, tetapi sebagai strategi kebudayaan, yang dituangkan ke dalam kebijakan public,” tandas Sultan.
Menurutnya, sejarah telah memberikan pelajaran, bahwa hidup dalam multikulturalisme, yang penuh toleransi dan saling menghargai, dapat menjadi sumber kemajuan. Di Spanyol, Andalusia adalah simbol kerukunan hidup antara Yahudi, Nasrani dan Islam.
Saat itu, ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang maju, karena semua saling belajar dari kebudayaan yang lain. Sejarah juga menunjukkan, proses integrasi berbagai budaya dan bangsa, adalah keniscayaan dalam sejarah Nusantara.
Sultan juga mengungkap soal pluralitas budaya. Menurutnya besarnya manfaat jika pluralitas budaya, menjadi serat-serat yang saling memperkuat, sehingga suatu resiprokalitas budaya yang sangat kaya akan tercipta. “Lebih dari itu, kita juga akan sanggup melaksanakan rencana-rencana pembangunan, dengan sesedikit mungkin distorsi, saling curiga dan kesalahmengertian,” terangnya.
Dalam pandangan Sultan, Kebudayaan Indonesia Baru, adalah pengandaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan, dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya, dari generasi ke generasi. Tentu saja, semua itu harus dikembangkan dari nilai-nilai, yang mengalir di ‘pembuluh darah’ masyarakat sendiri. Melupakan nilai-nilai budaya etnik dan masyarakat adat, hanya akan menciptakan Indonesia tumbuh tanpa jiwa dan identitas. ‘Yang pada akhirnya, kita tidak akan memperoleh hasil pembangunan kebudayaan yang konstruktif, visioner, antisipatif, progresif, kritis dan berkelanjutan,” imbuhnya.
Tidak hanya orasi budaya dari Sri Sultan, budayawan dan seniman lainnya juga menyampaikan orasinya. Nirwan Dewanto mengingatkan makna Arkipelagis sebagai sebuah gerak produktif yang membangun. Beberapa pembicara lainnya adalah Charles Toto, Titah AW, Afrizal Malna, Premana W Premadi, Bambang Sugiharto, Farah Wardani dan Nia Dinata.
Dalam forum yang berlangsung hingga sore hari, tim perumus Simposium ARKIPELAGIS: Refleksi Kebudayaan merumuskan sejumlah hal. Adapun beberapa butir pernyataan yang disampaikan adalah bahwa mendukung dan menyejahterakan kerja-kerja kebudayaan Indonesia sama pentingnya dengan memelihara atau memajukan situs-situs kebudayaan. Penting untuk membangun kembali kesadaran kontekstual atas pengetahuan tradisional sebagai solusi relevan untuk menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan di masa kini.
Pendanaan kebudayaan harus diperluas untuk mencakup kerja-kerja jurnalisme kebudayaan, demi menjembatani kesadaran publik terhadap isu seni dan kebudayaan, serta memperkuat dialog antara masyarakat, pelaku budaya, dan kebijakan. Pemajuan kebudayaan perlu didasarkan pada perspektif intermaterial, anti-kekerasan, dan inklusivitas.
Penting untuk selalu ditekankan urgensi strategi kebudayaan. Dalam hal ini, secara konkret adalah menyusun arah kebudayaan. Arah kebudayaan bangsa Indonesia yang memiliki kesadaran arkipelagis akan berupaya menghindari jebakan penebalan identitas semata, namun mengambil upaya mencapai peningkatan kualitas kebudayaannya, memperluas indikator kebudayaan, hingga mengupayakan posisionalitas di hadapan dunia melalui diplomasi kebudayaan.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto