Sebuah institusi diharapkan mampu membangun komunikasi yang efektif dengan media dalam rangka membangun reputasi. Sebab, komunikasi yang baik akan mampu menyampaikan program dan hasil inovasi ke masyarakat dengan baik serta mengatasi berbagai potensi krisis saat diterpa isu negatif.
Hal itu mengemuka dalam workshop FGD yang bertajuk Panduan Komunikasi Internal yang diselenggarakan oleh Sekretariat UGM, Jumat (31/1) di Ruang Multimedia 1, Lantai 3 sayap utara Gedung Pusat UGM. Workshop kali ini menghadirkan empat praktisi media berpengalaman, antara lain dr. Tirta Mandira Hudhi, M.A.B., Winda Pratiwi, Farchan Noor Rachman, dan Mohamad Ryan Saputra.
Mohamad Ryan Saputra dengan topik Pengaplikasian Media Appearance, dalam pemaparannya mengatakan terdapat beberapa jalur komunikasi media, yaitu Press Release, Press Conference, Wawancara Media, Artikel dan Opini, Media Sosial, dan Media Kit. Apabila jalur komunikasi ini berjalan dengan baik maka sebuah institusi bisa menyampaikan informasi ke publik, meningkatkan semangat transparansi, mengatasi isu sensitif, dan mampu mengkomunikasikan program atau inovasi. “Selain dapat mengatasi krisis komunikasi,” katanya.
Saat terjadi krisis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar penyampaian informasi tidak simpang siur. Beberapa diantaranya, melakukan koordinasi dengan pihak terkait, mengutamakan transparansi data untuk hal-hal yang sudah disepakati, melakukan respon secara cepat untuk meminimalisasi peluang misinformasi dari pihak lain.
Selanjutnya, menunjukkan juru bicara agar informasi yang disampaikan dengan baik, tepat, tidak membingungkan oleh orang yang kompeten. “Lalu menggunakan beragam owned media untuk menginformasikan juga apa yang disampaikan ke wartawan agar bisa dijadikan rujukan informasi oleh media lain maupun publik,” katanya.
Farchan Noor Rachman dengan topik Publicity Handling and Government Relationship, mengatakan dalam membangun komunikasi dengan media, ada ada 5 prinsip utama yang perlu dipegang, yakni pertama, selalu memegang prinsip transparansi dimana perlunya dalam memberikan informasi yang jelas dan jujur. Kedua, selalu konsistensi untuk mempertahankan narasi yang stabil di semua platform. Ketiga, adanya responsivitas untuk menanggapi pertanyaan media dan kekhawatiran publik dengan cepat. Keempat, adanya empati untuk memahami perspektif audiens dan menanggapi kekhawatiran yang ada. “Terakhir adanya sikap proaktif untuk mengantisipasi potensi masalah dan menyiapkan tanggapan,” ujarnya.
Sementara dr. Tirta Mandira Hudhi, M.A.B. dengan topik yang dibawakan yaitu Build Community Relationship menyampaikan alasan mengapa penting dalam membangun hubungan baik dengan stakeholder dalam rangka membangun kepercayaan. Sebab, hubungan yang baik dapat menciptakan kepercayaan yang dapat memperkuat kolaborasi. “Reputasi positif menarik mitra baru dan mempertahankan hubungan lama,” jelasnya.
Winda Pratiwi dalam topiknya tentang Setting Communication Officer menuturkan praktisi kehumasan sekarang harus mampu menjadi petugas komunikasi yang memiliki strategi dalam menyampaikan informasi pengetahuan. Dia berpesan agar praktisi humas tidak sembarangan memberikan komentar atau membuat konten yang menimbulkan afirmasi negatif ke warga negatif. “Di sosial media terdapat afirmasi positif dan negatif. Dari afirmasi negatif akan mengarah ke cyber bullying. Jadi jangan gunakan jempolmu sembarangan. Oleh karena itu muncul campaign we listen and we don’t judge,” pungkasnya.
Dr. Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S.H., LL.M., selaku Sekretaris Universitas (SU) UGM berharap dengan adanya workshop ini, seluruh praktisi kehumasan dapat mengetahui lebih jauh tentang peran penting kerja kehumasan dan mampu mengimplementasikan di dunia nyata khususnya bila menghadapi tantangan krisis komunikasi di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie