Tim Kosmopolis Rempah UGM bersama Kundha Kabudayan DIY dan Fakultas Ilmu Budaya UGM menyelenggarakan Seminar Series Kosmopolis Rempah. Seminar Series Kosmopolis Rempah kali ini melakukan bedah Buku karya Dr. Sri Margana, M.Hum., M.Phil, dosen Sejarah FIB UGM berjudul Arung Samudera Nusantara dan Kosmopolis Rempah.
Bedah buku menghadirkan pembicara Dr. Sri Margana, M.Hum., M.Phil selaku penulis buku dan penanggap diantaranya Dr. Widya Fitria Ningsih, dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A, Guru Besar Geografi Pembangunan, Fakultas Geografi UGM, Prof. Dr. Ir. Sri Gardjito, Pakar Rempah Fakultas Teknologi Pertanian UGM dan Prof. Dr. Mustofa, M.Kes, Guru Besar Farmakologi dan Therapi FKKMK UGM sekaligus Ketua Tim Kosmopolis Rempah UGM sebagai moderator.
Sri Margana sebagai penulis mengatakan secara substansi buku Arung Samudera Nusantara dan Kosmopolis Rempah sebagai respons terhadap upaya pemerintah Indonesia dalam mengajukan jalur rempah sebagai warisan dunia, sekaligus sebagai respons terhadap terbentuknya Unit Penelitian Kosmopolis Rempah di UGM. Sebagai bagian tim peneliti di Kosmopolis Rempah UGM, ia merasa bertangung jawab karena dirinya juga yang mengusulkan nama Kosmopolis Rempah.
“Kenapa tidak menggunakan nama jalur rempah? Karena jika mengacu jalur rempah seperti proposal yang diajukan oleh pemerintah terutama terkait dengan heritage-heritage, sejarah yang ingin disertakan pengakuan Unesco, maka semua produk kolonial. Jadi semua warisan-warisan, itu menjadi bukti-bukti adanya imperialisme dan kolonialisme di Indonesia,” katanya, di Gedung Sugondo, FIB UGM, Rabu (22/11).
Membicarakan jalur rempah saat periode Eropa datang ke Indonesia, menurut Sri Margana, bukan jalur rempahnya Indonesia melainkan jalur rempah orang Eropa. Jalur rempah orang Eropa merupakan jalur para penjajah yang datang ke nusantara dan itu justru menjadi jalan bagi terbentuknya penjajahan di Indonesia.
“Jadi kalau itu mau dijadikan warisan dunia, justru sebetulnya kurang tepat menurut saya. Sedang potensi Indonesia sendiri berkaitan dengan rempah bukan pada jalurnya, yang kita punya bukan jalurnya rempah tetapi rempahnya itu sendiri atau culture rempah,” terangnya.
Lantas kultur rempah itu seperti apa? Menurut Sri Margana kultur yang terbangun dari masyarakat Indonesia. Sebuah kearifan lokal dari Indonesia yang telah memanfaatkan rempah untuk berbagai tujuan, dan kemudian dinikmati oleh masyarakat dunia serta tersebar di seluruh dunia.
“Jadi menurut saya kontribusi Indonesia dalam rempah ini pada kultur rempah. Kultur rempah itu apa? Kultur yang menggunakan rempah entah untuk kesehatan, kuliner, kecantikan dan untuk tujuan-tujuan yang lain. Semua punya manfaat yang luar biasa dan yang penting saat ini, rempah untuk obat-obatan, bahan-bahan kecantikan, aroma-aroma terapi dan sebagainya,” jelasnya.
Widya Fitria Ningsih sebagai penanggap pertama mengatakan rempah adalah barang mewah yang menjadi pintu masuk dunia luar masuk ke wilayah nusantara. Meneliti rempah membawa pada penemuan bahwa sebelum kedatangan bangsa asing (jauh sebelum masehi) telah dilakukan pelayaran oleh para pelaut nusantara.
“Tetapi semua kemudian terhenti karena selanjutnya bangsa asinglah yang datang ke nusantara dan diundang oleh rempah. Jadi betapa pentingnya arti rempah di sini,” ungkapnya.
Ia menilai buku Arung Samudera Nusantara dan Kosmopolis Rempah setidaknya telah mencoba untuk menggunakan beberapa narasumber lokal. Sumber-sumber inilah yang dinilainya patut untuk diidentifikasi, ditelusuri dan dikaji lebih lanjut.
Menurutnya dengan upaya yang dilakukan akan membawa pada narasi yang lebih beragam. Upaya ini bisa dilakukan, misalnya dengan menelusuri tradisi lisan (ritual, tembang, syair), tutur, resep makanan dan lain-lain.
Baiquni memandang buku Arung Samudera Nusantara dan Kosmopolis Rempah memiliki perspektif sejarah dan geografi cukup kental, dimana dalam buku ditampilkan sejarah interaksi manusia dan lingkungan hidupnya. Juga interaksi antar sebuah kawasan ke wilayah-wilayah lainnya, serta adanya exchange (pertukaran) perdagangan dengan diringi pasang surut peradaban yang merupakan satu kajian menarik dari sisi historis, geografi dan budaya.
“Saya mengapresiasi dengan berhasil disusunnya buku ini yang memerlukan ketelitian, ketekunan dan ketelatenan. Tanpa karakter tekun, telaten, teliti dan tangguh saya yakin buku ini bisa masuk angin atau kurang motivasi ditengah-tengah proses penyusunan. Dengan terbitnya buku ini menunjukan karakter sejarawan yang memiliki endurance yang tinggi,” ucapnya.
Sri Gardjito menyatakan makanan Indonesia kalau dihitung dengan berbagai cara maka ada 3000 lebih jenis makanan. Banyak sekali catatan-catatan sejarah terkait makanan tersebut, namun sayang upaya mencari sumber sejarahnya mengalami kebuntuan.
“Dari situlah kemudian saya menyadari bahwa sejarah itu sangat penting karena dia merupakan akar dari segala permasalahan, dan di belantara gastronomi saya menemukan arti penting rempah. Setelah membaca buku ini merasa ayem,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Donnie