Jamu merupakan salah satu warisan tradisional herbal Indonesia yang diakui oleh UNESCO. Minuman yang dibuat dengan cara mengekstraksi kandungan dari berbagai tanaman obat-obatan ini telah terbukti khasiat dan manfaatnya bagi kesehatan. Proses pembuatan dan budaya meramu jamu menjadi inspirasi dalam karya seni Unit Seni Rupa (USER) Universitas Gadjah Mada bertajuk “Jejamuan Art Project”. Guna memotret nilai warisan budaya dalam jamu, USER UGM melakukan kunjungan langsung ke Kampung Jamu Gesikan, Merdikorejo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kampung Jamu Gesikan telah dikenal sebagai salah satu Sentra Industri Jamu Tradisional. Dahulu, meracik jamu dikenal sebagai usaha yang dapat mendongkrak perekonomian masyarakat. Kemudian banyak bermunculan industri jamu rumahan di Desa Gesikan. Sampai saat ini, puluhan warga masih meracik dan menjual berbagai macam jamu. Sebagian besar penjual jamu bahkan masih menggunakan cara tradisional, yakni digendong atau dikenal sebagai “Jamu Gendong”. Desa ini kemudian dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata di Yogyakarta.
Kunjungan dilakukan pada 14-15 September lalu dengan total 20 orang mahasiswa. Yusril Mirza, Kurator Jejamuan Art Project berharap dengan hadirnya para seniman muda ke Kampung Jamu Gesikan, dapat menjadi ajang pengenalan warisan budaya Jamu kepada generasi muda. “Para seniman muda dapat mengenali langsung, proses pembuatan jamu serta berbagai situasi menarik dan intrik dari dinamika kehidupan pembuat jamu. Sehingga mereka dapat mengekspresikan ke dalam bentuk karya seni yang penuh dengan narasi pesan edukatif dan reflektif,” Mirza dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (18/9).
Selain belajar langsung proses pembuatan jamu tradisional, mahasiswa juga mempelajari kehidupan dan lingkungan tempat tinggal para perajin jamu. Metode pembelajaran ini dilakukan agar mahasiswa dapat membawa budaya jamu ke ranah yang lebih luas seperti seni.
Antonius Aditya Jatmika selaku Ketua Panitia Jejamuan Art Project bahwa tema jamu tradisional sengaja diambil sebagai langkah inisiasi pelestarian budaya jamu. Pasalnya, jamu saat ini terancam punah karena menurunnya minat dalam konsumsi jamu. Minuman jamu dirasa kurang cocok karena memiliki rasa yang cenderung pahit, asam, dan kurang enak dikonsumsi kalangan muda. “Meski telah menjadi Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, rupanya jamu mulai terancam dan mengalami situasi yang cukup rentan. Melalui Jejamuan Art Project, selain bertujuan mengenalkan jamu dalam bentuk lain, berupa representasi karya seni,” ucap Aditya.
Kunjungan dalam tajuk “Sambang Jejamuan” ini tidak hanya dikemas dalam bentuk observasi saja, namun juga ada berbagai kegiatan menarik bagi mahasiswa dan masyarakat. Kegiatan tersebut berupa menonton film dokumenter, dialog dan diskusi dengan perajin jamu, serta belajar meracik jamu secara langsung. Seniman-seniman muda lain dari daerah Solo, Boyolali, Kendal, dan Garut juga turut hadir dan mengikuti rangkaian Sambang Jejamuan dengan antusias.
Zia Esha Azhari, mahasiswa Filsafat UGM yang menjadi salah satu peserta mengaku senang bisa mendapatkan pengalaman belajar budaya jamu di Desa Gesikan. “Bagi saya ini projek yang inovatif, sebab sebagai seniman kita diterjunkan langsung ke lokasi pembuatan jamunya. Berbagai orang yang belum pernah melihat pembuatan jamu, tentu menjadi pengalaman yang luar biasa dan bisa memberikan inspirasi dalam membangun karya,” tuturnya.
Acara Sambang Jejamuan dalam persiapan Jejamuan Art Project USER UGM diharapkan dapat memberikan gambaran unik dan menarik bagi para seniman muda. Nantinya, hasil karya seni bertema jamu tersebut akan ditampilkan pada 16-22 Oktober 2024 mendatang di the Ratan Art Space, Panggungharjo, Bantul.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson