
Universitas Gadjah Mada bersama Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) kembali menyelenggarakan Diskusi Terpumpun Seri 2 bertajuk “Ragam Budaya Musyawarah Nusantara: Landasan Rekonstruksi Makna dan Praktik Demokrasi Indonesia Modern?” pada Rabu (14/5). Diskusi yang digelar di Fakultas Ilmu Budaya UGM ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan untuk merefleksikan kembali praktik demokrasi Indonesia melalui lensa kebudayaan lokal dan dihadiri oleh akademisi, peneliti, praktisi, serta pemerhati isu demokrasi dari berbagai institusi. Diskusi berlangsung secara hibrida dan terbuka, mencerminkan semangat partisipatif yang menjadi inti dari tema yang diusung. Kehadiran berbagai perspektif lintas daerah dan latar belakang keilmuan membuat forum ini menjadi lebih hidup dan dinamis serta membuka ruang untuk sintesis pemikiran yang mendalam.
Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., SpOG(K), Ph.D., dalam sambutannya menggarisbawahi pentingnya melihat demokrasi Indonesia tidak sekadar sebagai hasil adopsi dari luar tetapi sebagai proses yang tumbuh dari akar budaya bangsa sendiri. Ia juga menambahkan bahwa forum semacam ini penting untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap praktik deliberatif lokal yang sering kali luput dari wacana dominan. Rektor UGM menekankan bahwa demokrasi yang membumi akan lebih mampu menjawab tantangan kebangsaan yang kompleks dan dinamis. “Kita perlu menelaah kembali nilai-nilai musyawarah yang hidup di tengah masyarakat Nusantara sebagai salah satu pilar demokrasi Indonesia. Inilah yang membedakan demokrasi kita dari demokrasi prosedural yang cenderung kering akan makna,” ujarnya.
Diskusi ini dimoderatori oleh Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA yang mengajak para peserta untuk melihat musyawarah sebagai cara pandang dan praktik sosial yang berakar kuat dalam budaya. Ia menekankan bahwa proses deliberatif lokal tidak hanya relevan secara kultural, tetapi juga menawarkan pendekatan alternatif dalam menjawab tantangan demokrasi kontemporer. Menurutnya, musyawarah tradisional menyimpan etika diskursif yang tidak kalah kuat dari konsep deliberasi dalam teori politik modern.“Musyawarah bukan hanya soal mencapai mufakat, tetapi juga tentang membangun kepercayaan sosial. Ini adalah nilai demokratis yang sangat kontekstual dengan kehidupan masyarakat Indonesia,” tegas Wening dalam pengantarnya.
Sebagai narasumber pertama, Prof. Dr. Pujo Semedi dari Universitas Gadjah Mada memaparkan dinamika musyawarah dalam masyarakat Jawa. Ia menyoroti bahwa struktur sosial yang hierarkis dalam masyarakat Jawa, termasuk pengaruh kebangsawanan, menghadirkan tantangan dalam mewujudkan prinsip egaliter demokrasi modern. Ia juga menunjukkan bagaimana posisi tokoh masyarakat atau sesepuh berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan kolektif. Tradisi ini bisa menjadi kekuatan atau sekaligus hambatan, tergantung bagaimana relasi kuasa tersebut dikelola secara demokratis.“Dalam masyarakat Jawa, musyawarah sering kali berlangsung dalam kerangka relasi kuasa. Maka penting untuk memahami bagaimana praktik ini bisa direkonstruksi agar lebih inklusif,” jelas Pujo.
Narasumber kedua, Prof. Dr. Sarkawi dari Universitas Airlangga, menjelaskan praktik tudang sipulung dalam budaya Bugis sebagai bentuk musyawarah kolektif yang menjadi bagian penting dari sistem sosial masyarakat. Dalam tradisi ini, setiap anggota masyarakat memiliki ruang untuk menyampaikan pendapat, termasuk kelompok yang secara struktural tidak berada dalam posisi elit. Sarkawi menegaskan bahwa tudang sipulung merepresentasikan praktik deliberatif yang sejalan dengan semangat demokrasi partisipatif. Namun, ia juga mencatat bahwa dalam praktik modern, tantangan dalam praktik tudang sipulung adalah memastikan forum-forum ini tetap otentik dan tidak sekadar simbolik, terutama ketika dihadapkan pada dinamika politik dan birokrasi lokal yang kompleks. Sarkawi menegaskan perlunya reinterpretasi nilai-nilai lokal agar tetap relevan dalam kerangka demokrasi inklusif. Ia juga menambahkan bahwa dalam beberapa kasus, nilai adat justru bisa menjadi pelindung bagi prinsip-prinsip keadilan sosial.“Tudang sipulung bukan hanya forum diskusi biasa, tetapi merupakan mekanisme penting dalam mengambil keputusan bersama yang menjunjung tinggi kesetaraan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap suara komunitas.” tuturnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Hermien Soeselisa dari Universitas Pattimura menyoroti tradisi pela gandong dan panas pela di Maluku sebagai bentuk musyawarah berbasis ikatan persaudaraan antarkampung. Tradisi ini tidak hanya menyelesaikan konflik horizontal, tetapi juga memperkuat kohesi sosial di tengah keberagaman. Hermien menegaskan bahwa menjaga keberlanjutan nilai-nilai ini berarti memperkuat demokrasi dari akar. Ia juga menyampaikan bahwa musyawarah berbasis adat tidak berhenti pada simbolik, melainkan hidup dalam praktik sehari-hari masyarakat. “Prinsip musyawarah di Maluku tidak berdiri sendiri, tetapi menyatu dalam relasi kekerabatan. Nilai-nilai seperti saling menghormati, setara, dan mufakat sudah berlangsung jauh sebelum demokrasi modern diperkenalkan,” ungkapnya.
Sebagai narasumber keempat, wartawan dan penulis Hasril Chaniago memaparkan praktik musyawarah dalam masyarakat Minangkabau yang berakar pada sistem kekerabatan matrilineal dan struktur nagari. Ia menggarisbawahi pentingnya mempertemukan nilai tradisi dengan konteks modern tanpa kehilangan esensi partisipatifnya. Dalam konteks Minangkabau, ruang deliberasi publik dapat menjadi jembatan antara adat dan tata kelola demokrasi modern. Hasril juga menyoroti peran perempuan dalam struktur sosial matrilineal yang membuka peluang dialog baru dalam demokrasi partisipatif. “Musyawarah di Minangkabau tidak lepas dari peran ninik mamak dan penghulu. Mereka adalah penjaga nilai, sekaligus aktor utama dalam proses pengambilan keputusan kolektif. Tapi tantangannya sekarang, bagaimana praktik ini tetap relevan dalam masyarakat yang makin kompleks,” ujar Hasril.
Diskusi Terpumpun Seri 2 ini menghasilkan pemikiran-pemikiran kritis mengenai bagaimana ragam budaya musyawarah Nusantara bisa menjadi sumber inspirasi bagi perumusan demokrasi Indonesia yang lebih berakar dan kontekstual. Tradisi lokal yang hidup dalam masyarakat Indonesia menawarkan banyak pelajaran tentang tata kelola yang inklusif, berbasis nilai, dan responsif terhadap dinamika sosial. Diskusi ini juga menggarisbawahi urgensi merumuskan kebijakan yang tidak semata-mata normatif, tetapi dibangun atas pemahaman mendalam terhadap realitas sosial-budaya masyarakat. Seluruh gagasan dan dinamika diskusi akan dirangkai dalam naskah akademik yang tidak hanya menjadi rekomendasi kebijakan berbasis bukti, tetapi juga bahan advokasi publik dan referensi dalam perumusan demokrasi yang lebih kontekstual dan berkelanjutan.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Donnie