
Perubahan zaman yang kian cepat menuntut pendidikan tinggi untuk bersikap proaktif dan responsif, tidak terkecuali di bidang kedokteran hewan. Sebagai bentuk komitmen pada hal tersebut, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Workshop Re-design Kurikulum Program Studi Kedokteran Hewan dan Pendidikan Profesi Dokter Hewan di ruang auditorium FKH UGM, Selasa (10/6). Kegiatan ini menjadi ruang reflektif sekaligus strategis bagi sivitas akademika untuk memperbarui arah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan global, nasional, dan kebutuhan dunia kerja. Kurikulum baru diharapkan tidak hanya melahirkan dokter hewan yang mumpuni secara keilmuan, tetapi juga mampu menghadapi dinamika profesi di berbagai sektor dengan integritas dan kecakapan yang tinggi.
Dekan FKH UGM, Prof. Drh. Teguh Budipitojo, M.P., Ph.D., menekankan pentingnya kolaborasi lintas pihak dalam merumuskan kurikulum yang berdaya saing. Teguh mengungkapkan bahwa kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang mampu hidup dan berkembang bersama perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi yang terus bergerak. Dengan semangat tersebut, proses pembaruan kurikulum tidak berhenti pada satu forum, melainkan akan terus dilanjutkan melalui dialog dan kerja bersama yang berkelanjutan. “Redesain kurikulum ini bukan hanya tanggung jawab dosen, tapi tanggung jawab bersama untuk mencetak dokter hewan yang peka terhadap kebutuhan masyarakat, industri, dan dinamika global,” tegasnya.
Workshop redesain kurikulum menghadirkan berbagai pemangku kepentingan eksternal untuk memberikan evaluasi dan masukan terhadap kurikulum yang berlaku saat ini. Di antaranya adalah perwakilan dari dunia industri, klinik, lembaga penelitian, pemerintah, serta organisasi profesi. Keterlibatan stakeholder menjadi penting karena merekalah yang selama ini menjadi pengguna langsung lulusan FKH UGM. Suara dari luar kampus ini diharapkan mampu membuka cakrawala dan memperkaya perspektif pengembangan kurikulum.
Drh. Hasbullah, M.Sc., Ph.D., dari praktisi industri obat hewan, menyoroti pentingnya penempatan dokter hewan sebagai penanggung jawab teknis obat untuk menjamin mutu dan keamanan di lapangan. Menurutnya, pemahaman tentang peraturan perundangan, farmakoterapi, serta prinsip kehati-hatian dalam distribusi obat perlu menjadi bagian integral dalam pendidikan profesi dokter hewan. Ia juga menekankan perlunya pemahaman lintas sektor antara dokter hewan, apoteker, dan tenaga paramedik veteriner dalam konteks kerja bersama menjaga kualitas obat. “Dokter hewan adalah garda pertama dalam pengawasan mutu obat di lapangan. Tanpa kompetensi di bidang ini, keamanan konsumen dan integritas profesi bisa terganggu,” paparnya.
Dari sisi dunia penelitian, Kepala Pusat Riset Veteriner Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN, drh. Harimurti Nuradji, Ph.D., menyampaikan bahwa tantangan utama lulusan FKH UGM terletak pada kapasitas kolaborasi dan kemampuan komunikasi ilmiah. Ia menilai bahwa kemampuan laboratorium dan analisis lulusan masih perlu ditingkatkan agar dapat menjawab kebutuhan riset berbasis konsep One Health. Untuk itu, riset tidak hanya diperkenalkan sebagai tugas akhir, tetapi sebagai semangat berpikir sejak dini dalam proses pembelajaran. “Mahasiswa perlu lebih banyak dilatih berpikir kritis, terbuka terhadap kerja lintas disiplin, dan mampu merespons kebutuhan masyarakat dengan pendekatan ilmiah,” ujarnya.
Sorotan lain datang dari praktisi klinik hewan kecil, Drh. Radhiyan Fadiar Sahistya, yang menyoroti kesenjangan antara materi kampus dan kebutuhan lapangan. Dunia pet care kini mengalami transformasi luar biasa, dengan semakin kompleksnya kebutuhan medis terhadap hewan kesayangan dan eksotik. Ia juga mendorong pembelajaran berbasis teknologi terkini, penambahan durasi praktik lapangan, serta penguatan soft skill seperti komunikasi, kepemimpinan, dan public speaking bagi calon dokter hewan. “Klien zaman sekarang sudah cerdas dan kritis, sementara kadang dokter hewannya belum siap. Ini gap yang harus ditutup,” ungkapnya.
Tidak kalah penting adalah kritik dari dunia perunggasan yang menilai minat lulusan FKH UGM terhadap sektor ini masih rendah. Sejumlah perwakilan industri menyebutkan bahwa lulusan kurang adaptif, kurang berkarakter, dan kurang kompetitif dibandingkan lulusan FKH lain seperti Universitas Brawijaya dan Universitas Airlangga. Mereka menyarankan agar mahasiswa FKH UGM dikenalkan lebih awal terhadap dinamika industri unggas, termasuk manajemen pemeliharaan ayam yang menjadi faktor krusial dalam kesehatan populasi. “Padahal dunia perunggasan menyediakan banyak lapangan kerja, mulai dari teknikal service, industri vaksin, hingga peneliti unggas,” ujar salah satu evaluator.
Sebagai respons terhadap beragam masukan tersebut, tim penyusun dan fasilitator workshop merumuskan sejumlah rekomendasi utama. Beberapa di antaranya adalah pembaruan konten perkuliahan sesuai tren industri, penambahan kegiatan praktik lapangan minimal dua bulan, serta penyusunan mata kuliah baru yang fokus pada kepemimpinan dan kewirausahaan veteriner. Selain itu, FKH UGM juga didorong untuk membangun jejaring lebih luas dengan dunia kerja, serta mendatangkan alumni sukses sebagai pembicara inspiratif. Rekomendasi ini bukan sekadar daftar keinginan, tetapi peta jalan untuk melahirkan lulusan yang tangguh dan relevan.
Workshop ditutup dengan optimisme dan semangat kolaboratif dari semua peserta, baik dari dalam maupun luar kampus. Proses redesain ini menjadi bukti bahwa FKH UGM terbuka terhadap kritik, dan berani mengambil langkah nyata untuk berbenah. Kurikulum baru yang sedang disusun bukan hanya respons terhadap evaluasi, tetapi juga refleksi mendalam atas nilai-nilai keilmuan dan tanggung jawab sosial profesi dokter hewan. Dengan demikian, lulusan FKH UGM di masa depan diharapkan tidak hanya siap kerja, tetapi juga siap berkarya dan memimpin perubahan.
Penulis: Triya Andriyani