
Setahun lalu, kisah Asysyfa Maisarah menggugah banyak hati. Anak buruh tani dari pelosok Sumatera Barat ini berhasil menembus Universitas Gadjah Mada, dan lebih dari itu, Syfa, nama panggilannya, mendapatkan beasiswa Uang Kuliah Tunggal (UKT) 0 rupiah. Perjuangannya menjadi simbol harapan bagi banyak siswa di pelosok negeri yang merasa minder karena keterbatasan ekonomi. Kisahnya menyebar luas sebagai wujud nyata bahwa akses pendidikan tinggi bukan hanya milik mereka yang mampu secara finansial. Kini, setelah menjalani dua semester di Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Syfa membuktikan bahwa mimpi besar bisa diwujudkan dengan semangat dan ketekunan.
Syfa mengaku, awal kedatangannya ke Yogyakarta dipenuhi rasa haru dan khawatir. Ia berangkat dari kampung halaman dengan semangat, meski harus meninggalkan keluarga dan rumah untuk pertama kalinya. Tak ada kerabat di Yogyakarta, namun ia bertekad bertahan dan membuktikan bahwa ia layak berada di kampus impiannya. Perasaan waswas itu perlahan tergantikan oleh kekaguman saat ia berdiri di depan Gedung Pusat UGM dan melihat langsung ikon kampus seperti Pertamina Tower FEB, semakin menguatkan keyakinannya bahwa ia berada di tempat yang tepat. “Perasaan Syfa antara senang, sedih, takut, khawatir, semuanya campur aduk menjadi satu,” tuturnya.
Namun momen perjalanan kuliahnya tentu saja tidak selalu mudah. Tantangan akademik menjadi salah satu ujian terberat yang harus dihadapinya sejak awal semester pertama. Ia harus beradaptasi dengan ritme belajar yang jauh lebih cepat dan lingkungan akademik yang sangat kompetitif. Buku teks, tugas-tugas kompleks, dan diskusi kelas menjadi medan baru yang menuntut kerja keras ekstra. Syfa memilih untuk menjadikan rasa tertinggal itu sebagai bahan bakar untuk terus berjuang. “Di awal semester satu kemarin itu Syfa sempat minder dan juga stres karena ada di beberapa hal yang Syfa tidak paham namun teman-teman itu sudah melaju lebih jauh,” ujarnya.
Tidak hanya berfokus pada akademik, Syfa juga aktif mengikuti berbagai kegiatan kampus. Ia melihat kehidupan kampus sebagai kesempatan untuk memperluas wawasan dan membangun jejaring. Berbagai forum, seminar, hingga kepanitiaan menjadi wadah baginya untuk belajar di luar kelas. Ia juga merasa beruntung bisa menyaksikan langsung tokoh-tokoh nasional yang datang ke UGM. Menurutnya, pengalaman seperti ini tak hanya menginspirasi, tapi juga membuka perspektif baru tentang masa depan. “Syfa pernah ketemu Bapak Anies Baswedan, sempat bersalaman dan berfoto bersama juga,” ungkapnya sambil tersenyum.
Dampak dari beasiswa ini sangat besar bagi kehidupan dan studi Syfa. Selain meringankan beban orang tua, beasiswa ini membuatnya bisa lebih fokus belajar tanpa harus memikirkan biaya kuliah. Ketenangan finansial itu menjadi ruang aman bagi Syfa untuk bertumbuh secara akademik dan pribadi. Dengan kondisi ekonomi orang tua yang terbatas, beasiswa menjadi bentuk nyata dari kesempatan yang tidak ternilai. “Beasiswa ini sangat-sangat memiliki pengaruh besar ke perjalanan kuliah Syfa,” ujarnya.
Alih-alih menjadi beban, latar belakang keluarga justru menjadi sumber kekuatan terbesar bagi Syfa. Ia menjadikan keterbatasan sebagai cambuk untuk terus berprestasi dan membangun masa depan yang lebih baik. Ia percaya bahwa keberhasilan yang diraih bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarga dan komunitas tempatnya berasal. Setiap langkahnya di UGM adalah wujud dari janji yang ia buat untuk masa depan yang lebih baik. Syfa ingin lulus dengan prestasi terbaik, mendapatkan pekerjaan yang layak, dan pada akhirnya membantu keluarganya secara finansial. “Keadaan keluarga Syfa jelas menjadi motivasi terbesar,” kata Syfa.
Sebagai anak rantau, Syfa kerap dilanda rasa rindu rumah dan kelelahan mental. Namun di tengah itu semua, keluarga selalu hadir sebagai sumber semangat utama. Ia menyebut bahwa dukungan dari rumah membuatnya kembali kuat setiap kali semangatnya menurun. Komunikasi singkat dengan orang tua bisa menjadi penyelamat di hari-hari terberatnya. Setelah lulus nanti, Syfa bercita-cita untuk bekerja di bidang yang sesuai dengan ilmu akuntansi yang ia pelajari, lalu membangun stabilitas finansial untuk dirinya dan keluarganya. “Syfa harap ke depannya mendapatkan pekerjaan yang baik sehingga keadaan finansial bisa berubah, itu bisa menjadi ucapan terima kasih kepada orang tua,” ucapnya dengan penuh harap.
Menutup ceritanya, Syfa menyampaikan pesan hangat untuk adik-adik di kampung halamannya yang mungkin masih ragu mengejar mimpi. Ia ingin mereka percaya bahwa cita-cita besar bukan hanya milik anak-anak di kota besar. Mimpi setinggi langit layak diperjuangkan, selama ada kemauan dan kerja keras yang menyertainya. Ia menekankan bahwa UGM memiliki banyak program beasiswa untuk mendukung mahasiswa dari berbagai latar belakang, yang terpenting adalah keberanian untuk mencoba dan semangat agar tidak mudah menyerah. “Kita boleh memasang cita-cita setinggi apapun dan kita berhak untuk memperjuangkannya,” tandasnya.
Sepanjang tahun 2024, UGM telah memberikan subsidi UKT 100% kepada 555 mahasiswa sebagai bentuk nyata komitmen terhadap akses pendidikan yang adil. Melalui program ini, UGM menjalankan perannya sebagai universitas kerakyatan yang berpihak pada kelompok marjinal sekaligus mewujudkan prinsip keberlanjutan sosial dalam dunia pendidikan tinggi. Kebijakan ini tidak hanya memberikan kesempatan, tetapi juga menjadi jembatan bagi anak-anak muda dari berbagai pelosok untuk bangkit dan berkontribusi. UGM percaya bahwa pendidikan yang inklusif adalah fondasi penting dalam membangun masa depan bangsa yang lebih setara dan berkeadilan.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Dokumentasi Asysyfa