Tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat (PKM-PM) UGM yang terdiri dari Muhammad Jhony Fonsen (Pariwisata, 2020), Revana Sheba Pavita (Ilmu Keperawatan, 2020), Regizki Maulia (Psikologi, 2021), Hakam Tsaqib Hanafia (Sastra Indonesia, 2021), dan Fahrezy Thomas Pratama (Kimia, 2022) melakukan kegiatan sosial berupa pengabdian kepada masyarakat di Panti Asuhan Bina Siwi, Yogyakarta. Di Panti Asuhan Bina Siwi, Tim PKM-PM UGM berupaya mengubah cara pandang inklusif penyandang disabilitas dengan menciptakan ruang berekspresi yang dikemas dalam bentuk kolaborasi seni tari dan musik.
Sebelum pengabdian, Tim PKM-PM UGM yang mendapat bimbingan dari Dr. Hayatul Cholsy, S.S., M. Hum., dosen Fakultas Ilmu Budaya, melakukan survei dan melihat visi misi Panti Asuhan Bina Siwi selama ini ada yang tidak berjalan. Hal tersebut terlihat dalam hal berkesenian, Panti Asuhan Bina Siwi belum sepenuhnya memfasilitasi kebutuhan para penyandang disabilitas.
Sementara visi Panti Asuhan Bina Siwi adalah mensejahterakan anak berkebutuhan khusus dan melatih kemandirian secara terarah yang berkesinambungan. Dengan dukungan tujuh misi diharapkan dapat menyempurnakan visi yang dicita-citakan. Salah satu dari visi tersebut yaitu mengoptimalkan potensi anak berkebutuhan khusus di dalam panti yang menekankan pada program bina diri, mengadakan kegiatan keterampilan secara berkesinambungan dan terarah sebagai bekal di masa depan.
“Dua dari tujuh misi yang disematkan diharapkan menjadi dasar landasan, namun ternyata belum dapat terealisasi secara matang dan optimal di Panti Asuhan Bina Siwi,” ujar Muhammad Jhony Fonsen, di Kampus UGM, Jumat (13/10).
Sugiman selaku Ketua Yayasan Panti Asuhan Bina Siwi, Yogyakarta mengungkapkan pihak Panti Asuhan sesungguhnya sudah berupaya memberikan fasilitas berkesenian untuk anak-anak tetapi kendala lain muncul yaitu tidak mampu mendatangkan pelatih dikarenakan minimnya dana yang dimiliki. Padahal, sesuai visi dan misi, Panti Asuhan Bina Siwi bercita-cita mengarahkan kemampuan anak agar bisa mandiri dan sejahtera, misalkan dengan memberikan pelatihan menjahit, beternak, hingga proses pembuatan telur asin.
Hanya saja untuk kegiatan yang merujuk pada kesenian, Sugiman mengakui belum dapat berjalan secara optimal. Panti Asuhan sesungguhnya memimpikan memiliki kelompok kesenian yang berkarakter yang bisa melayani untuk penyambutan tamu ataupun meramaikan kegiatan-kegiatan tertentu.
“Kami sering mendapat kunjungan-kunjungan dari berbagai kelompok untuk kegiatan donatur, semakin ke sini saya memiliki harapan besar untuk dapat meningkatkan nilai panti dengan membangun identitas yang jelas dengan memiliki kelompok seni. Lagi-lagi kendalanya kita tidak memiliki pelatih untuk kesenian baik tari maupun musik,” ucap Sugiman.
Merespons kebutuhan Panti Asuhan Bina Siwi Yogyakarta, Tim PKM-PM UGM melalui Tim Tok-Show Obah menawarkan program TOK-SHOW OBAH: Self Actualization Difabel Dalam Berkesenian melalui Tarian dengan Iringan Mainan Tradisional di Panti Asuhan Bina Siwi, Yogyakarta. Program TOK-SHOW OBAH sebagai solusi bertujuan untuk membangun sistem untuk menambah value/karakteristik panti asuhan sebagai identitas, menciptakan ruang berekspresi bagi para penyandang disabilitas, dan menjaga eksistensi sekaligus sebagai ruang aktualisasi diri.
Hakam Tsaqib Hanafia menjelaskan program ini diusung dalam bentuk kolaborasi antara seni musik dan seni tari. Menariknya, tim Tok-Show Obah dalam program ini mencoba untuk bereksperimen dengan menggunakan musik pengiring pada tari yang tidak biasa, yaitu dengan menggunakan mainan tradisional berbunyi “Otok-Otok”.
Dengan menggunakan mainan tradisional ini, mainan Otok-Otok yang semakin menurun akibat terdampak modernisasi bisa kembali terangkat kembali eksistensinya sebagai mainan tradisional. Tidak lagi sekedar sebagai mainan, tetapi Otok-Otok pada akhirnya mampu memiliki tingkat edukasi dan kreativitas tinggi dalam sebuah kemasan tampilan musik eksperimental.
“Selain murah, mainan Otok-otok ini juga banyak dijumpai di Yogyakarta khususnya Daerah Bantul. Dengan harga yang terjangkau, mainan Otok-Otok ini multifungsi. Hitung-hitung juga sebagai bentuk pelestarian mainan tradisional di era yang sekarang,” ucap Hakam.
Regizki Maulia menambahkan selain menggunakan iringan yang tidak biasa, ragam gerak tari yang diajarkan pun juga bervariasi. Dalam karya kali ini, tim melibatkan ragam gerak dasar gaya Yogyakarta seperti ngeruji, ngithing, dan ukel serta gerak bahasa isyarat untuk dimunculkan sebagai identitas karya, seperti sapaan sederhana “Halo”, “Terima kasih”, dan “Aku cinta kamu”.
Melalui gerak tari ini, kata Regizki, diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa penyandang disabilitas masih memiliki kemampuan untuk tetap mendapatkan pendidikan dengan metode pengayaan yaitu pendidikan sesuai dengan keterampilan dan kemampuan mereka. Salah satunya pengayaan pendidikan datang dari pelatihan keterampilan menari.
“Menariknya, dilihat dari kacamata psikologis, berlatih menari dan bermusik untuk anak penyandang disabilitas khususnya tunagrahita dapat menjadi media terapi,” ungkap Regizki.
Revana dan Thomas merasa bersyukur karena meski memiliki latar belakang yang berbeda, antusiasme mereka dalam berlatih menciptakan karya kolaboratif sangat tinggi. Jika sebelumnya tidak mendapat fasilitas berkesenian, dengan hadirnya program ini mereka bisa berkarya, berekspresi, hingga mengaktualisasikan kemampuan diri.
“Mereka merespons positif program dan berharap program dapat rampung dengan baik sesuai dengan kebutuhan panti asuhan. Mereka juga berharap program ini tidak hanya sebagai program PKM-PM saja, tetapi dapat menjadi kegiatan yang berkelanjutan,” terang Revana didampingi Thomas.
Penulis : Agung Nugroho