Ibu Kota Nusantara yang terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur menawarkan keanekaragaman hayati yang melimpah. Keberagaman ekosistem, hutan hujan tropis, hingga daerah perairan menjadi tempat hidup bagi berbagai biodiversitas. Potensi ini memberikan kesempatan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kesehatan. Menanggapi hal ini, Universitas Gadjah Mada menggelar Round Table Discussion bertema “IKN, Biodiversitas, dan Pengembangan Biomedical Berbasis Herbal” pada Selasa (28/11).
“Kalimantan ini kaya akan biodiversitas, termasuk tanaman obat. Ada 80% spesies tanaman obat dunia yang ada di Kalimantan. Dan tanaman obat yang terdaftar di BPOM ini ada sekitar 25.000-30.000 spesies tanaman. Nantinya kalau kita benar-benar pindah ke IKN, tentunya ini sangat potensial,” ujar Prof. Dr. Mustofa, Apt., M.Kes., dari FK-KMK UGM. Mayoritas tanaman obat tersebut sudah digunakan oleh kurang lebih 55 suku Dayak di Kalimantan. Beberapa tanaman yang sangat potensial antara lain adalah, tanaman pasak bumi, sarang semut, akar kuning, sekungbak, bajakah, dan lain-lain.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa tanaman-tanaman herbal di daerah Kalimantan mayoritas bisa mengatasi kanker, gangguan organ dalam, bahkan bisa menjadi bahan baku kosmetik yang potensial. Namun hingga saat ini, belum ada upaya untuk mengeksplorasi lebih jauh potensi tersebut di industri. Mustofa menambahkan, kerja sama interdisiplin tidak mudah dilakukan dalam hal ini. Penelitian antar disiplin memang sudah banyak dilakukan, namun dari sektor industri, pemerintah, ataupun masyarakat belum memiliki visi yang sama untuk mengembangkan potensi biodiversitas di daerah IKN.
Potensi IKN sebenarnya sudah dirumuskan sejak awal inisiasi pemindahan ibukota dibuat. Konsep pembangunan IKN melibatkan tiga konsep utama, yaitu IKN sebagai Kota Hutan, kota spons atau sponge city, dan kota cerdas atau smart city. Ketentuan ini disebutkan dalam Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2022. Potensi ini membutuhkan identifikasi yang kompleks dan menyeluruh agar pembangunan bisa disesuaikan dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi. Untuk itu, pembangunan IKN ditumpukan pada aspek keberlanjutan agar pemanfaatkan potensi keragaman hayati dapat dikelola secara efektif, maksimal, dan suistainable.
“Salah satu tantangannya ini adalah data biodiversitas. Tentu kalau ingin memanfaatkannya, kita perlu mengetahui ketersediaan spesies tersebut di alam. Nah, salah satu contohnya adalah tanaman bajakah. Bajakah ini merupakan sebutan tanaman secara umum, jadi berbagai genus ada di sana, tidak mengacu pada satu spesies saja. Jadi data biodiversitas ini penting untuk menjadi modal dasar dalam mengembangkan biomedical,” tutur Prof. Dr. Dra. Ratna Susandarini, M.Sc., Fakultas Biologi UGM. Selain spesies tumbuhan, keberadaan hutan Kalimantan juga perlu diperhatikan statusnya. Masih banyak spesies satwa-satwa liar yang bertempat tinggal di luar hutan primer. Hal ini berisiko tinggi jika hutan produksi justru menggusur habitat hewan-hewan tersebut.
Menurut Ratna, pembangunan Kota Hutan IKN memerlukan referensi tatanan ekosistem yang baik. Karena kota hutan berarti menempatkan berbagai aspek kehidupan dalam satu kawasan. Penelitian pun diperlukan untuk memetakan bagaimana satwa, hutan, manusia, bahkan industri, bisa berlangsung dalam satu ekosistem. “Penelitian untuk IKN ini sendiri masih sangat kurang. Mungkin kalau biomedisin di pulau Jawa, atau Kalimantan secara umum, kata kuncinya banyak sekali muncul. Namun wilayah IKN ini masih minim penelitian,” tambahnya.
Kunci utama dalam optimalisasi pembangunan IKN ini adalah kesamaan visi antara pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat. Potensi biodiversitas yang menjanjikan tidak mudah untuk diiringi dengan aspek keberlanjutan. Karenanya, kebijakan ketat dan pengawasan sendiri perlu diperhatikan dalam wilayah konservasi IKN. Kerja sama dan kolaborasi ini nantinya diharapkan mampu menghadirkan Kota Hutan IKN yang menjadi ekosistem bagi manusia maupun keberadaan hayati.
Penulis: Tasya