Pengembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) di Indonesia telah mencapai tonggak penting dengan pembentukan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) pada tahun 2020. Dampak positifnya telah terasa di berbagai sektor, termasuk informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi, jasa perusahaan, serta sektor pertanian.
Bahkan sektor publik dan swasta telah mulai mengadopsi AI. Meskipun demikian, terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi oleh Indonesia, seperti penyebaran data dan ancaman keamanan yang perlu ditindak dengan tegas.
Mengupas potensi dan implementasi AI di berbagai sektor, Center for Digital Society (CfDS) UGM kembali menggelar Digital Expert Talks #19. Bekerja sama dengan KORIKA, Digital Expert Talks #19 menghadirkan pembicara Hario Bismo Kuntarto, S.Kom, M.Sc, Ketua Tim Tata Kelola Ekonomi Digital dan Gim, Kemenkominfo RI, Brigitta Ratih E. Aryanti, Head of Government Affairs and Public Policy Google Cloud, dan Afiahayati, S.Kom., M.Cs, Ph.D, Dosen Departemen Ilmu Komputer & Elektronika, FMIPA UGM serta Amelinda Pandu Kusumaningtyas, Research Coordinator CfDS UGM selaku moderator.
Hario dalam kesempatan diskusi menyatakan pemerintah secara aktif telah mempromosikan AI di berbagai sektor dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing dan inovasi Indonesia. Hal ini didukung fakta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berkomitmen untuk mendukung pengembangan talenta digital dan keterampilan AI bagi semua kalangan.
Tidak terbatas pada para profesional melalui pengadaan inisiatif pendidikan dan peningkatan keterampilan. Bahkan terhitung sejak 2021 lalu Kominfo telah menjadi pengampu AI, Blockchain, dan IoT sesuai dengan PM. Kominfo 3/202.
“Kominfo berkomitmen untuk melanjutkan fokus pada aktivasi layanan melalui monitoring dan evaluasi kajian regulasi Sandboxing dengan menetapkan prinsip inklusifitas, transparansi, dan kredibilitas serta akuntabilitas” terang Hario .
Dari sudut pandang pendidikan, Afiahayati menjelaskan akademik adalah pondasi pembinaan keterampilan AI yang berguna untuk memfasilitasi transfer pengetahuan dan inovasi dari berbagai proyek dan penelitian mengenai AI melalui kolaborasi dari berbagai pihak, seperti perguruan tinggi.
“Hal ini terlihat dari komitmen Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam pengadaan program studi magister kecerdasan artifisial untuk menjawab permintaan spesialis AI dimana di dalamnya terus disempurnakan melalui berbagai mata kuliah pendukung, laboratorium sistem cerdas, sampai AI research center”, ujarnya.
Afiahayati menyebutkan kolaborasi quadruple helix yang melibatkan pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat memungkinkan peningkatan perkembangan AI yang jauh lebih sporadik sehingga dapat mewujudkan harapan kolaborasi yang lebih besar dalam pertukaran sumber daya dan informasi, seperti yang sudah dilakukan UGM dalam bidang kesehatan maupun penelitian.
Brigitta Ratih menambahkan kontribusi Google untuk memastikan kemudahan aksesibilitas AI semakin memungkinkan dimanfaatkan pengguna di berbagai tingkat keterampilan. Hal ini diperlihatkan melalui aplikasi seperti Gmail yang sudah disertai fitur smart compose.
Di Indonesia sendiri, Google telah berkolaborasi bersama pemerintah dalam sektor tata kelola kota, respon bencana, produktivitas, sampai kesehatan. Hal ini ditunjukkan dari project Green Light Dishub DKI Jakarta untuk mengurangi titik kemacetan melalui pengelolaan efisiensi lampu merah.
Meski begitu, tidak dapat dipungkiri tantangan mengenai privasi dan keamanan data masihlah menjadi prioritas utama sehingga kebijakan pengembangan AI haruslah mempunyai tiga prinsip, yakni tegas untuk memecahkan masalah sosial-ekonomi, bertanggung jawab, dan kemitraan antara berbagai pihak.
“Untuk mewujudkan implementasi AI, kita harus meningkatkan potensi ekonomi lewat pengadaan infrastruktur dan SDM melalui penjagaan keamanan sesuai regulasi,” ucap Brigitta.
Penulis : Agung Nugroho-Tasya