
Indonesia tengah menghadapi persoalan serius terkait kesenjangan antara pertumbuhan jumlah perpustakaan setiap tahunnya yang tidak diikuti dengan pertambahan tenaga pustakawan. Berdasarkan data Perpustakaan Nasional RI pada tahun 2020-2024 menunjukkan pertumbuhan perpustakaan sebesar 11.2%, sementara itu pertumbuhan pustakawan hanya 10.7%. Minimnya tenaga pustakawan di berbagai wilayah ini tentunya menjadi persoalan tersendiri yang harus segera dicari solusinya.
Kepala Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, Arif Surachman, S.I.P., M.B.A., mengatakan pustakawan memiliki peran strategis dalam pembangunan literasi masyarakat dan pengembnagan sumber daya manusia. Sebab, pustakawan bukan sekadar pengelola koleksi, tetapi agen informasi yang memiliki akses langsung pada sumber informasi sebelum disalurkan kepada masyarakat. “Pustakawan itu ‘nyanding informasi’. Mereka yang memiliki sumber daya, sehingga punya peran penting untuk men-deliver informasi kepada masyarakat atau komunitasnya,” ungkapnya, Kamis (18/9).
Dikatakan Arif, salah satu persoalan klasik yang dihadapi oleh hampir semua jenis perpustakaan, yakni minimnya jumlah pustakawan, terutama yang mempunyai kompetensi yang sesuai. Ia memberikan contoh di Kampus UGM. Saat ini terdapat sekitar 68 pustakawan yang melayani sekitar 67 ribu pemustaka yang terdiri dari mahasiswa, dosen dan tendik. Jumlah ini belum cukup ideal dari perbandingan ideal menurut standar nasional perpustakaan perguruan tinggi yang seharusnya 1 pustakawan untuk 750 pemustaka. “Idealnya kita butuh sekitar 90 pustakawan untuk melayani kebutuhan seluruh sivitas. Namun, ada faktor lain yang mempengaruhi, misal pertimbangan kemampuan finansial dan prioritas institusi,” jelasnya.
Ketidakcukupan pustakawan semacam ini menurutnya sebetulnya juga dialami oleh perpustakaan lain di Indonesia. Bahkan Fenomena serupa juga banyak ditemui di sekolah-sekolah. Tak jarang, perpustakaan dikelola oleh guru yang merangkap tugas sebagai petugas perpustakaan atau tenaga administrasi yang tidak memiliki background cukup dalam bidang perpustakaan. Padahal, ketersediaan lulusan program studi perpustakaan di Indonesia sebetulnya cukup banyak. Walaupun tetap apabila melihat kebutuhan pustakawan secara keseluruhan, mungkin jumlah lulusan yang ada belum cukup memenuhi kebutuhan pasar. “Terbatasnya daya serap lembaga dan prioritas alokasi anggaran membuat lulusan program studi perpustakaan sebagai tenaga pustakawan tidak terserap optimal,” katanya.
Meski demikian, perkembangan teknologi dan digitalisasi informasi menjadi salah satu jawaban dan solusi dalam menjembatani kekurangan tenaga pustakawan ini. UGM sendiri telah mengembangkan platform daring untuk membantu layanan pustaka. Namun, Arif mengingatkan bahwa digitalisasi tidak bisa sepenuhnya menggantikan peran pustakawan, terutama dalam layanan khusus yang memerlukan pendampingan langsung kepada para pemustaka.
Arif juga menekankan pentingnya kebijakan yang lebih mendukung literasi. Ia menilai, perlu ada sistem yang mendorong mahasiswa lebih aktif datang ke perpustakaan, misalnya melalui program pelatihan literasi bersertifikat yang bisa membantu mahasiswa mendapatkan kesempatan lebih untuk ikut penelitian. Beberapa perpustakaan kampus di Indonesia, bahkan sudah mengembangkan semacam “klinik pustaka” sebagai bentuk inovasi layanan mereka dan keterlibatan pustakawan dalam proses perkuliahan dan penelitian yang dilakukan sivitas akademika melalui kesempatan masuk dalam kelas-kelas metode penelitian dan sejenisnya.
Di akhir pernyataannya, Arif menyampaikan pesan agar para pustakawan terus meningkatkan kompetensi agar bisa menjawab kebutuhan zaman. Sementara untuk pengambil kebijakan, katanya, penting untuk tahu kondisi lapangan dan memahami kebutuhan literasi masyarakat.
Arif menutup dengan ajakan sederhana dengan menjadikan perpustakaan sebagai rumah, dan pustakawan sebagai teman. “Pustakawan mungkin tidak selalu bisa menjawab pertanyaan saat itu juga, tetapi mereka memiliki jejaring yang memiliki jawaban yang dibutuhkan oleh pengunjung perpustakaan,” pungkasnya.
Penulis : Ika Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto