Lembaga riset berperan penting dalam mengelola hilirisasi riset penelitian sekaligus menjadi wadah para peneliti. Peran riset tentu sangat krusial pada berbagai sektor, mulai dari pemerintah hingga korporasi. Sayangnya, hilirisasi dan penerapan Research & Development (RnD) masih belum maksimal dan tepat sasaran. Pemikiran Bulaksumur #30 membahas topik ini dalam tajuk “Tantangan dan Peluang Hilirisasi Hasil R&D Lemabag Riset di Era Digital pada Rabu (31/1).
“Industri dalam negeri kalau tidak diproteksi akan terancam dumping, dan kalau itu terjadi benar-benar gulung tikar. Ini faktual, apa yang dikembangkan (dari hasil riset dalam negeri), ketika masuk ke industri tidak diproteksi oleh pemerintah dan akhirnya kalah saing dengan negara lain. Apalagi kalau hilirisasi ini kemudian masuk ke urusan politik, maka korbannya adalah pemikiran dan penelitian,” ujar Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc. selaku Ketua Dewan Guru Besar UGM.
Penerapan hasil riset tidak bisa hanya dilakukan oleh universitas sebagai agen penghasil riset, namun juga memerlukan pemerintah dan industri. Riset yang dilakukan perlu diselaraskan oleh kebutuhan industri agar dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengemban fungsi pemerintahan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi. Untuk menjalankan fungsi tersebut, BRIN memiliki rangkaian strategis dalam menghubungkan riset dengan industri.
“Riset di kami itu berasal dari riset-riset masyarakat, BRIN sendiri, dan bekerja sama dengan kampus, internasional, dll. Berdasarkan pengalaman kami, agar riset sampai ke industri itu perlu banyak dukungan. Pertama masalah licensing dan policy making, karena hasil dari kekayaan intelektual harus didukung regulasi. Segi industri pun dibagi menjadi dua, yakni industri besar dan mikro. Untuk industri bisa masuk ke market dengan hasil riset tadi itu sering butuh pengujian inovasi, bagaimana caranya industri mau menggunakan paten kita maka kita perlu dorong untuk dapat memenuhi kebutuhan regulator,” terang Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Industri, Dr. Dipl.-Ing. Mulyadi Sinung Harjono, MT.
Faktanya, industri juga menghadapi tantangan tersendiri dalam memasarkan hasil riset atau produk dari penelitian. Seringkali hasil riset menghasilkan inovasi yang benar-benar baru atau produk baru yang belum memiliki pasar di masyarakat. Selain itu, jika melihat produk-produk hasil riset inovasi seperti otomotif, bahan bakar, dan obat-obatan, industri perlu melalui prosedur perizinan dan peredaran di pasar. Hambatan-hambatan inilah yang membuat industri seringkali enggan memanfaatkan produk hasil riset.
Solusi atas masalah ini tidak hanya terletak pada penerapan hasil riset, namun juga bagaimana perguruan tinggi memiliki korelasi kebutuhan industri. Termasuk dalam menghasilkan SDM berkualitas di masa depan. “Tantangan bagi dunia perguruan tinggi ketika menyiapkan SDM adalah bagaimana kita menyiapkan skill dan kompetensi yang dibutuhkan lima tahun ke depan. Menurut perkiraan, 23 juta pekerjaan akan digantikan oleh automasi hingga 2030. Walaupun diperkirakan 27-46 juta pekerjaan baru akan lahir, tapi 10 juta pekerjaan di antaranya belum muncul. Jadi ini tantangan bagaimana kita menyiapkan talenta masa depan dengan dunia yang belum kita mengerti,” papar Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC., Ph.D, Guru Besar Fakultas Teknik UGM sekaligus Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek.
Melalui kerja sama yang seimbang antara, perguruan tinggi, industri, dan pemerintah, diharapkan mampu menjadi upaya strategis menghadapi revolusi industri 5.0. Sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-17, kemitraan kuat untuk mencapai tujuan penting dilakukan. Dengan begitu, tantangan-tantangan masa depan yang penuh ketidakpastian dapat dihadapi bersama.
Penulis: Tasya