Kesehatan mental merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan, karena dengan mental yang sehat seorang manusia dapat menjalankan hidup yang bahagia dan juga produktif di tengah masyarakat. Keluarga yang sehat dan harmonis sangat berperan dalam pembentukan mental seseorang. Begitu pun di lingkungan kampus, diperlukan kebijakan kesehatan mental untuk mendukung peningkatan literasi dan kesadaran mahasiswa dan pegawai terkait kesehatan mental dan menjembatani mereka atas kesenjangan pengetahuan dan praktik seputar kesehatan mental.
Hal itu mengemuka dalam yang Seminar yang bertajuk “Comprehensive Campus-based Mental Health System: Promoting Wellbeing for All” Jumat(11/10) di Grand Diamond Hotel Yogyakarta. Seminar yang diinisiasi Biro Pelayanan Kesehatan Terpadu (BPKT) UGM melalui Pokja Kesehatan Mental bekerja sama dengan Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menghadirkan beberapa narasumber dengan keahlian di bidang psikologi, diantaranya Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI dr. Imran Pambudi, MPHM, Profesor Emeritus dari Family Studies di University of Nebraska Dr. John DeFrain, beberapa peneliti dari CPMH UGM yakni Indrayanti, S.Psi., M.Si., Ph.D., Diana Setiyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., Psikolog, Restu Tri Handoyo, S.Psi., M.Psi., Ph.D., Psikolog, dan Dokter Spesialis Anak FK-KMK UGM dr. Ade Febrina Lestari, Sp.A (K).
Imran Pambudi menyampaikan bahwa terdapat 3 langkah yang perlu untuk dilakukan untuk melakukan implementasi kesehatan jiwa di lingkungan kampus UGM sebagai Health Promoting University. Pertama, program Edukasi Mahasiswa. Langkah ini diperlukan supaya mahasiswa lebih sadar dan tahu akan perubahan di kejiwaan mereka. “Langkah ini juga penting untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mencari bantuan ahli dalam menangani masalah kejiwaan mahasiswa,” katanya.
Kedua, pembuatan kebijakan kampus yang mendukung kesehatan mental mahasiswa dalam rangka meningkatkan literasi mahasiswa terkait kesehatan jiwa. “Kebijakan tersebut juga harus menurunkan stigma terkait masalah kesehatan jiwa dan mendorong mahasiswa untuk mencari bantuan dalam menangani masalah mental,” ujarnya.
Langkah terakhir yang dibutuhkan untuk implementasi kesehatan jiwa di lingkungan kampus adalah pengadaan fasilitas-fasilitas untuk penanganan masalah kejiwaan. Beberapa diantaranya adalah fasilitas konseling serta akses informasi terkait kesehatan jiwa, dan tidak lupa akses ke psikologi dan psikiatri. “Perguruan tinggi ini sebagai lingkungan pendidikan perlu membuat suatu lingkungan yang suportif dalam kesehatan jiwa mulai dari penyediaan akses informasi yang benar, layanan kesehatan jiwa berkualitas sampai dengan memberikan fasilitas yang mendukung peningkatan kesehatan jiwa bukan hanya mahasiswa tapi seluruh elemen yang berada di situ termasuk dosen dan juga kepada para pegawai-pegawai,” Ungkap Imran.
Sementara Dr. John DeFrain, menekankan akan pentingnya sebuah keluarga yang sehat dalam pembentukan mental seseorang. John menjelaskan bahwa dari berbagai kultur yang ia temui dalam risetnya, terdapat sebuah fenomena yang terjadi secara konsisten yakni fakta bahwa orang-orang yang mentalnya relatif baik atau normal biasanya tumbuh dengan didukung oleh keluarga yang kuat
Menurut John, keluarga-keluarga yang menghasilkan orang-orang yang sehat secara mental memiliki enam kualitas yaitu apresiasi terhadap satu sama lain, komunikasi positif, komitmen terhadap keluarga, menikmati waktu bersama, rasa kesejahteraan spiritual dan nilai yang sama, serta kemampuan untuk menghadapi tekanan dan krisis secara efektif. “Di antara keluarga yang saling mencintai dan peduli, keluarga yang kuat dan kualitas yang membuat mereka kuat sangat mirip dari satu budaya ke budaya lainnya. Model Kekuatan Keluarga Internasional kami memiliki enam kualitas utama, penghargaan dan kasih sayang satu sama lain, komunikasi yang positif, komitmen terhadap keluarga, waktu bersama yang menyenangkan, rasa kesejahteraan spiritual dan nilai-nilai bersama, serta kemampuan untuk mengelola stres dan krisis secara efektif,” Ucap John
John juga menjelaskan bahwa hanya karena seseorang berasal dari keluarga disfungsional bukan berarti mereka tidak bisa menjadi seseorang yang secara mental sehat. John menjelaskan bahwa salah satu cara agar seseorang tersebut dapat menjadi orang yang sehat secara mental adalah dengan mencari teladan atau role model dari luar keluarga yang bisa menjadi contoh yang baik dalam berperilaku. “Kamu mungkin tidak memiliki role model di keluarga tempat kamu dibesarkan. Mungkin yang kamu lihat hanyalah kekerasan dan ketidakbahagiaan. Atau mungkin ada satu atau dua orang di keluarga tempat kamu dibesarkan yang cukup baik. Nah, kamu belajar dari mereka. Kamu belajar dari gurumu di sekolah. Kamu belajar dari orang-orang di komunitasmu. Jadi, mungkin kamu tidak memiliki role model di keluargamu tapi kamu bisa menemukan role model untuk hidup positif dari orang lain yang ada di luar keluarga,” Jelas John.
Selanjutnya Indrayanti, S.Psi., M.Si., Ph.D., menjelaskan mengenai pentingnya kesehatan mental di tempat kerja. Ia menyebutkan sebagian besar pekerja masih merasa bahwa problem mental yang sedang mereka hadapi tidaklah diakui. Banyak pekerja saat ini baik dari gen z maupun milenial adalah ketakutan bahwa mereka akan ditolak karena silang pendapat dengan atasan “Kita merasa ada tujuan. Kita jadi bimbang, ketika kita ditolak untuk terlibat di dalam sebuah proyek karena beda prinsip. Menurut saya begini, menurut pimpinan begini, akhirnya gak cocok, terus kemudian ditolak,” katanya.
Menurut Indrayanti, penyelesaian dari masalah-masalah ini dapat dilaksanakan dengan melakukan beberapa langkah penyelesaian sistemik, karena masalah ini sudah menjadi sesuatu hal yang sistemik, dan harus diselesaikan secara sistemik. Ada strategi formal dan informal yang dapat dilakukan untuk menciptakan workplace wellbeing. Strategi formal dapat dilakukan dengan membangun budaya kesehatan mental inklusi, melakukan pencegahan proaktif, mendorong semua orang untuk memiliki kepedulian terhadap kesehatan mental dan menyelenggarakan employee assistance program. Sedangkan untuk strategi informal dapat dilaksanakan dengan pembuatan safe space untuk pegawai, inisiatif peer-to-peer, ambil tanggung jawab sendiri, serta mengadakan dukungan eksternal dan aksi solidaritas. “Workplace Wellbeing bukan sekedar program, ia adalah perjalanan kolektif komitmen bersama, tanggung jawab kita bersama untuk membangun ruang kerja yang sehat dengan prinsip empati dan dukungan dalam setiap keputusan,” katanya.
Penulis : Hanif
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie