Kesehatan mental menjadi salah satu isu yang semakin banyak mendapat perhatian di lingkungan akademik, tidak terkecuali di Universitas Gadjah Mada. Sebagai institusi pendidikan tinggi terkemuka di Indonesia, UGM memiliki tanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan seluruh civitas akademika, termasuk kesehatan mental. Menyadari urgensi ini, UGM mengambil langkah proaktif dengan membentuk Unit Layanan Kesehatan Mental (ULKM) pada 1 Juli 2024 silam untuk memberikan dukungan dan layanan kesehatan mental kepada civitas akademika, khususnya mahasiswa. Terbukti, skrining kesehatan mental yang dilakukan oleh ULKM menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan mental, serta menyediakan pendampingan dan penanganan yang tepat.
Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG (K)., Ph.D, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa hampir 30-40% mahasiswa UGM berjuang dengan masalah kesehatan mental dalam berbagai level, mulai dari tingkat ringan hingga mengambil keputusan untuk suicide (bunuh diri). “Kita secara proaktif harus melakukan berbagai upaya pencegahan hingga penanganan,” kata Ova dalam Workshop Mental Health Seri 1 yang melibatkan para dekan untuk merumuskan kebijakan yang mendukung implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait kesehatan mental di tiap fakultas. Kegiatan yang berlangsung, Jumat (25/10) di Gedung Pusat
Ova mengingatkan agar pimpinan Fakultas, Direktorat, hingga Departemen dan prodi terus berupaya untuk melakukan tindakan preventif agar kampus menjadi tempat yang menyenangkan untuk menimba ilmu.
Dalam kesempatan itu, Ova juga menyampaikan pentingnya keterlibatan Direktorat Kemahasiswaan (Ditmawa) untuk mendorong para mahasiswa yang terlibat di dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) menjadi buddy counsellor karena memiliki kedekatan dengan rekan mahasiswa lain. “Bahkan ini menjadi KPI (Key Performance Indicator) dari UKM, karena percuma, misalnya mereka latihan bola (olahraga) biar sehat, tapi ternyata temannya stress, kan menjadi hal yang kontroversi,” ungkap Ova.
Rektor berharap agar Biro Pelayanan Kesehatan Terpadu dapat berkolaborasi dengan Ditmawa untuk mengadakan pelatihan bagi mahasiswa UKM agar bisa menjadi buddy.
Dekan Fakultas Psikologi, Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., melaporkan dari hasil risetnya saat melakukan skrining kesehatan mental pada sejumlah 41.812 mahasiswa UGM dari semua jenjang, mulai dari sekolah vokasi, sarjana, magister, doktor, hingga profesi, atau 62% dari total populasi mahasiswa UGM. Rahmat menyoroti salah satu tantangan terbesar dalam penanganan kesehatan mental mahasiswa adalah adanya perbedaan kapasitas fakultas dan sekolah dalam menyediakan layanan dan penanganan kesehatan mental. “Jadi belum semua fakultas memiliki tim kesehatan mental atau psikolog,” ujarnya.
Menurutnya PIC dari masing-masing fakultas dan sekolah berperan sebagai data controller dan case manager kasus kesehatan mental yang dapat dilekatkan pada HPU atau psikolog fakultas.
Drs. Arif Nurcahyo, M.A, selaku Kepala Satuan Kantor Keamanan, Keselamatan Kerja, Kedaruratan, dan Lingkungan (K5L) memiliki peran sebagai first aid responder kesehatan mental di kampus meyakini bahwa kesehatan mental beririsan dengan kecelakaan lalu lintas, kesehatan medis lain, serta kecelakaan kerja yang terjadi di UGM.
Berdasarkan data dari riset yang timnya lakukan periode Januari-September 2024. Menurutnya, ada beberapa kasus yang tidak tercatat di dalam skrining tapi muncul di lapangan. “Kami mendapatkan catatan ternyata sumber masalahnya adalah keluarga, pacar atau sahabat yang toxic, dosen yang tidak ramah, dan masalah non-teknis lainnya,” ungkapnya.
Tantangan yang dihadapi K5L adalah staf tidak bisa mengawasi satu per satu sehingga membutuhkan bantuan, karena bahkan banyak mahasiswa yang menutupi riwayat kesehatannya.
Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D., selaku ketua Health Promoting University (HPU) UGM mengatakan HPU memberikan berbagai layanan kesehatan yang dapat diakses oleh mahasiswa, mulai dari layanan konseling hingga program-program peningkatan kesehatan mental agar tercipta kampus sejahtera. “Kami bahkan sudah melakukan pelatihan menjadi first aider untuk dosen dan tenaga kependidikan, serta pelatihan anti toxic relationship,” tutur Yayi.
Ia berharap kolaborasi lintas unit kerja dapat membentuk satu sistem pelaporan terpadu, bisa berdasarkan levelling atau pun clustering sehingga sistem penanganan kesehatan mental menjadi suatu systematic networking.
Sementara Dwi Umi Siswati, S.Si., M.Sc., sebagai Koordinator Dosen Konselor Fakultas Biologi berbagi pengalaman tentang best practice yang telah dilakukan oleh Fakultas Biologi dalam melakukan penanganan kesehatan mental. Melibatkan mahasiswa sebagai buddy counsellor dirasakan sebagai pilihan terbaik yang Fakultas pilih karena adanya kecenderungan mahasiswa lebih bisa bercerita dengan rekan sejawatnya. “Para buddies ini sudah kami latih agar mereka bisa berperan sebagai pendengar yang empatik, mampu memberikan dukungan sosial, dan membantu rekannya mengatasi kesulitan emosional,” tutupnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Donnie