
Universitas Gadjah Mada menjadi tuan rumah bagi gelaran The 10th International Conference on the History of Medicine in Southeast Asia (HOMSEA) yang berlangsung pada 24-27 Juni 2025 di Gedung Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Forum dua tahunan ini menjadi ajang pertemuan akademisi dari berbagai disiplin ilmu untuk membahas sejarah kesehatan dan kedokteran di Asia Tenggara, dari era kolonial hingga masa kini. Para peserta hadir tidak hanya sebagai peneliti, tetapi juga sebagai pelaku pembaca ulang sejarah yang kritis terhadap warisan kolonial dan peran sosial kedokteran. Dengan atmosfer Yogyakarta yang kental akan nilai-nilai historis dan kebudayaan, konferensi ini pun terasa semakin bermakna.
Lebih dari 150 peserta dari 14 negara hadir di Yogyakarta untuk memperkaya perspektif lintas negara, lintas disiplin, dan lintas generasi mengenai praktik kesehatan, pengetahuan medis, dan warisan budaya di kawasan ini. Rangkaian kegiatan berlangsung intensif selama empat hari dengan ragam panel, simposium, peluncuran buku, dan kunjungan ke situs medis bersejarah. Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D., Ketua Panitia Penyelenggara HOMSEA 2025, menyebut forum ini sebagai tonggak sepuluh tahun pencapaian yang memadukan refleksi sejarah dan pembacaan atas arah masa depan sistem kesehatan di Asia Tenggara. “Kami mengajak para peserta semua untuk kembali mendalami sumber sejarah, mendengar suara-suara yang terlupakan, dan mendorong batas kajian lintas disiplin,” ungkapnya.
Konferensi HOMSEA dikenal luas sebagai ruang terbuka untuk eksplorasi kritis yang mempertemukan ilmu sejarah, antropologi, kedokteran, hingga kebijakan publik. Tahun ini, tema besar yang diangkat adalah “Health and Medicine in the Colonial, Post-Colonial and Global Worlds”, dengan berbagai subtema seperti kesehatan masyarakat versus spesialisasi medis, dekolonisasi pengetahuan, dan etika medis. Prof. Hans Pols, Presiden HOMSEA, mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada para penyelenggara dan sukarelawan dengan gaya khas yang penuh kehangatan. “Kalau kalian bertemu panitia atau relawan di meja registrasi atau pintu ruangan, ucapkan saja terima kasih, mereka yang membuat acara ini berjalan,” katanya sambil tersenyum.
Keterlibatan lintas fakultas juga memperkaya penyelenggaraan konferensi ini. Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM bersinergi menjadi tuan rumah bersama, mencerminkan semangat lintas ilmu yang menjadi ruh HOMSEA. Prof. Dr. Setiadi, S.Sos., M.Si., Dekan FIB UGM, menekankan pentingnya pendekatan budaya dalam memahami praktik medis. “Dalam pandangan kami, pengobatan bukan hanya praktik klinis, tetapi juga praktik budaya yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, sistem penyembuhan, kolonialisme, pengetahuan lokal, dan struktur sosial,” jelasnya.
Sementara itu, Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., Dekan FK-KMK UGM, menyoroti bahwa sejarah kedokteran adalah cerminan perjuangan bangsa membangun keadilan sosial dan kesehatan masyarakat. Ia menegaskan bahwa institusinya didirikan dengan semangat membangun bangsa dan menjunjung keadilan sosial melalui pendekatan medis yang berakar pada budaya. Konferensi ini juga menjadi refleksi menjelang 80 tahun FK-KMK UGM berdiri, mempertegas relevansi sejarah dalam pendidikan kesehatan. “Belajar sejarah bukan hanya soal menoleh ke belakang, tapi juga untuk memahami masa depan dengan lebih jernih dan bijak,” tuturnya.
Dalam sambutannya, Rektor UGM Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed, Sp.OG(K), Ph.D., menekankan pentingnya refleksi etik dan politis dalam narasi kesehatan di Asia Tenggara. Ia menyebut bahwa koneksi dan perbedaan dalam sejarah kesehatan kawasan tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme, modernitas, serta keberlanjutan sistem lokal. Konferensi ini, menurutnya, adalah ruang untuk memperkuat narasi lokal agar setara dalam wacana kesehatan global. “Mari kita mulai konferensi ini dengan rasa ingin tahu, kerendahan hati, dan komitmen bersama untuk mengembangkan ilmu yang menghargai masa lalu dan bertanggung jawab pada masa depan,” ucapnya.
Sebagai pembuka sesi ilmiah, keynote speaker Prof. Harold J. Cook dari Brown University memaparkan bagaimana pemahaman Eropa atas pengobatan Tiongkok justru banyak bersumber dari interaksi dan dokumentasi di Asia Tenggara. Ia menunjukkan bahwa buku-buku Eropa abad ke-17 tentang akupunktur dan deteksi denyut nadi sebenarnya ditulis berdasarkan manuskrip yang dikumpulkan di Batavia, Makassar, dan wilayah Kamboja. Presentasinya membuka diskusi tentang relasi pengetahuan, kekuasaan, dan gerak lintas budaya dalam sejarah kedokteran. “Saya akhirnya sadar bahwa banyak pengetahuan tentang pengobatan Tiongkok yang diterima orang Eropa justru berasal dari Asia Tenggara,” jelasnya.
Rangkaian konferensi berlangsung selama empat hari, mencakup lebih dari 20 panel paralel, dua keynote speech, peluncuran buku, pertunjukan wayang kulit, dan kunjungan ke rumah sakit bersejarah seperti Bethesda, Panti Rapih, dr. Yap, dan dr. Suradji Tirtonegoro. Seluruh kegiatan dikurasi untuk memperkaya pengalaman akademik dan kultural peserta dari berbagai negara. HOMSEA 2025 tidak hanya menjadi ajang pertukaran gagasan, tetapi juga ruang untuk merawat ingatan, menumbuhkan kolaborasi, dan memperkuat komitmen terhadap kesehatan berbasis sejarah dan budaya lokal. “Mari gunakan kegiatan ini untuk saling terhubung, merefleksi, dan membayangkan masa depan sejarah medis Asia Tenggara bersama-sama,” tutup Prof. Harold.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Firsto