
Menteri Komunikasi dan Digital RI, Meutya Hafid menegaskan penggunaan kecerdasan, kecerdasan artifisial dan juga kecerdasan manusia dalam rangka membangun masa depan yang inklusif dan adil. Indonesia dengan 270 juta penduduk yang tinggal di 17 ribu pula diharapkan bisa memanfaatkan inovasi ini, sekaligus melindungi mereka dari segala resiko. “Sebagian rofesional telah memanfaatkan kehadiran AI, dan hampir dua pertiganya melihat AI ini sebagai manfaat daripada ancaman,” ujarnya saat menyampaikan sambutan pada kegiatan Information Resilience & Integrity Symposium bertema Generative AI and Information Resilience in the Asia-Pacific: Actions and Adaptations di Fisipol UGM, Kamis (21/8).
Meutya mengatakan akses yang tidak merata terhadap tantangan teknologi memperlambat penyebaran antara komunitas perkotaan dan pedesaan. Saat ini, kata dia, penetrasi internet perkotaan di Indonesia sekitar 82 persen, sementara di tingkat mikro hanya 62 persen. “Ini bukan sekadar statistik, ini adalah kisah anak-anak di desa terpencil yang masih kesulitan mengikuti kelas daring, sementara teman-temannya di kota besar telah merasakan penggunaan perangkat AI,”terangnya.
Diakui kecerdasan buatan generatif (GenAI) telah berkembang pesat dan digunakan di berbagai sektor untuk berbagai tujuan. Penggunaannya yang meluas menimbulkan tantangan baru bagi negara-negara untuk mengelolanya, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat regional. Hal ini berarti peluang pemanfaatan GenAI tidak terlepas dari potensi risikonya. Oleh karena itu, tren yang muncul menuntut strategi tata kelola yang akurat yang melibatkan kolaborasi lintas pemangku kepentingan dan lintas batas.
Wakil Rektor UGM Bidang Pendidikan dan Pengajaran, Prof. wening Udasmoro, mengakui beragam risiko dapat ditimbulkan teknologi AI. Oleh karena itu, menurutnya, perlu direspons baik dari sisi pembuat kebijakan melalui regulasi ketat, sisi perusahaan melalui pendekatan yang humanis, sisi masyarakat melalui pendidikan dan literasi digital, hingga kolaborasi antara ketiganya. Universitas, termasuk UGM, memiliki tanggung jawab bukan hanya untuk mempelajari teknologi sebegini, tetapi juga untuk membantu masyarakat mengarah dan menggunakannya dengan bertanggung jawab. “Bukan hanya untuk mempelajari teknologi seperti ini, tetapi juga berperan mengarahkan dan membantu masyarakat dalam menggunakan teknologi itu dengan bertanggung jawab”, ungkapnya.
Dr. Yose Rizal Damuri, Direktur Eksekutif CSIS, yang memaparkan peluang sekaligus risiko GenAI di kawasan Asia-Pasifik mengungkapkan tantangan saat ini bagaimana bisa mengembangkan tidak hanya menyangkut kebijakan dan regulasi tetapi juga soal penggunaan etik untuk AI generatif yang sedang berkembang. Hal ini penting karena akan mempengaruhi kehidupan banyak orang di masa depan. “Saya harap acara ini tidak hanya memperkenalkan pengetahuan kita tentang AI generatif dan dampaknya tetapi juga bagaiamana AI mempengaruhi dan menemukan strategi praktis dan kooperatif dalam mensejahterakan tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh kawasan Asia dan Pasifik,” imbuhnya.
Simposium yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS) melalui Safer Internet Lab (SAIL) bersama Center for Digital Society (CfDS) merupakan sebuah forum akademik dan kebijakan internasional. Simposium dirancang untuk membahas bagaimana kawasan Asia-Pasifik dapat bersama menghadapi gelombang inovasi teknologi sekaligus menjaga integritas dan ketahanan ruang digital. Menghadirkan 20 narasumber profesional, simposium terbagi dalam 4 strategic dialogue & panel secara paralel tentang penipuan keuangan, surveillance and privacy, manipulasi informasi asing, dan dampak disinformasi terhadap ketahanan demokrasi.
Penulis : Agung Nugroho