
Dalam beberapa pekan terakhir ini, beberapa media menulis soal minat generasi muda menurun terhadap ilmu sains, khususnya fisika. Beberapa artikel berita menyoroti turunnya minat siswa terhadap sains. Bagi para akademisi yang berkecimpung dalam ilmu sains, kondisi ini mengisyaratkan lampu merah yang harus mendapat perhatian dari banyak pihak. Pasalnya tanpa pemahaman yang kuat terhadap bidang sains, sebuah bangsa dinilai akan kesulitan bersaing di era teknologi saat ini.
Dr.rer.nat. Wiwit Suryanto, S.Si., M.Si, selaku Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Kerjasama FMIPA UGM menilai banyak faktor menjadi penyebab minat siswa terhadap sains diantaranya metode pengajaran kurang menarik. Apalagi sistem pendidikan saat ini, disebutnya, masih berfokus pada hafalan rumus dan teori tanpa memberikan pengalaman eksplorasi yang cukup. “Belum lagi, kurangnya eksperimen dan praktik langsung membuat sains terasa abstrak dan sulit dipahami,” kata Wiwit, Sabtu (22/2).
Wiwit pun tidak menampik kenyataan bila kurangnya minat terhadap sains ini dikarenakan sains dinilai tidak bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahkan tidak sedikit siswa mempertanyakan manfaat belajar sains karena sangat jarang dikaitkan dengan teknologi sehari-hari yang bersinggungan hidup mereka, seperti smartphone, internet, atau kendaraan listrik. Belum lagi soal persepsi sains yang membayangkan sains itu ilmu sulit dan hanya untuk orang jenius. “Ketidakmampuan melihat manfaat langsung dari ilmu sains membuat mereka kehilangan motivasi untuk mempelajarinya. Banyak siswa merasa takut terhadap simbol, angka, dan persamaan matematika yang kompleks. Narasi hanya orang jenius yang bisa memahami membuat banyak siswa menyerah sebelum mencoba,” jelasnya.
Padahal, kata dia, Michael Faraday sebagai bapak elektromagnetik itu ternyata bukan jago matematika maupun fisika teori. Ia hanya sangat betah dalam mengotak atik alat eksperimen di laboratorium. Sehingga kurangnya figur inspiratif di bidang sains turut punya andil menurunnya anak muda belajar sains. “Banyak orang tidak tahu tentang siapa Michael Faraday. Sains jarang dipromosikan melalui media populer, sementara profesi di bidang bisnis, seni, dan hiburan lebih banyak mendapat sorotan. Akibatnya, siswa kurang memiliki role model ilmuwan atau inovator yang dapat menginspirasi mereka. Mungkin jaman saya dulu ada Pak Habibie yang begitu saya idolakan seorang teknokrat hebat. Nampaknya kita perlu figur-figur ahli sains yang sering ditampilkan di media,” ucap Wiwit.
Menurutnya, jika generasi muda semakin lama tidak berminat pada sains akan berdampak pada kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Indonesia sebagai bangsa besar akan terus ketergantungan teknologi pada negara asing. Tanpa memiliki ilmuwan dan insinyur yang kompeten, Indonesia hanya akan menjadi konsumen teknologi, bukan produsen. “Negara tentu akan semakin bergantung pada teknologi impor, yang dapat menghambat kemandirian dan daya saing nasional”, ungkapnya.
Di era persaingan saat ini, kata Wiwit, negara-negara maju seperti China, Jepang, Taiwan, Korea dan Amerika Serikat berinvestasi besar-besaran dalam riset sains dan teknologi. Jika generasi muda Indonesia tidak tertarik pada sains, tentu akan membuat semakin tertinggal dalam persaingan global. Menurutnyam kondisi ini bisa berakibat pada lemahnya daya saing. Bahkan menjadikan negera kita minim memiliki inovasi untuk menyelesaikan masalah nasional seperti penyelesaian soal krisis energi, perubahan iklim, ketahanan pangan, dan mitigasi bencana alam. “Tanpa ilmuwan dan peneliti muda, sulit bagi Indonesia untuk menemukan solusi inovatif bagi masalah-masalah ini”, paparnya.
Wiwit pun menilai kurikulum saat Ini tidak menggiring siswa minat mendalami bidang sains. Sistem pendidikan di Indonesia, dinilainya, masih memiliki beberapa kelemahan dalam menarik minat siswa terhadap sains. Disamping terlalu berfokus pada hafalan dan teori, pembelajaran masih menekankan pada rumus dan definisi, bukan eksplorasi dan pemecahan masalah. Kurang dilakukan pendekatan secara interaktif dan eksperimen. Laboratorium-laboratorium sains di banyak sekolah kurang memadai yang menjadikan siswa tidak memiliki kesempatan untuk melakukan eksperimen secara langsung. “Evaluasi berbasis ujian, bukan pemahaman konseptual. Model ujian masih mengutamakan hafalan, bukan kreativitas dan pemahaman yang mendalam”, urainya.
Melihat kondisi ini, Wiwit berpendapat meningkatkan minat siswa mempelajari dan mendalami sains menjadi tantangan bangsa Indonesia kedepan. Ada beberapa solusi, ia tawarkan untuk meningkatkan minat siswa terhadap sains, diantaranya mewajibkan pelajaran sains di sekolah dan mengubah cara mengajar dari hafalan ke eksplorasi. Perlu dilakukan meningkatkan pembelajaran berbasis eksperimen dan proyek nyata disertai penggunaan teknologi digital seperti simulasi, augmented reality, dan coding interaktif. Bisa pula dengan memperlihatkan pada siswa relevansi sains dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih mengaitkan pelajaran sains dengan teknologi modern yang digunakan para siswa. Sesekali, menurutnya, bisa pula mengadakan kunjungan ke industri dan kolaborasi dengan perusahaan teknologi. “Jika memungkinkan menghadirkan role model agar menginspirasi para siswa. Misal menghadirkan ilmuwan dan inovator Indonesia yang sukses di bidang sains dan teknologi. Mengadakan program mentorship dan seminar inspiratif tentang karier di bidang sains dengan disertai perbaikan kurikulum dan lainnya,” pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Freepik