
Mungkin ada rasa takjub ketika kita berdiri di depan meja buffet dan melihat barisan makanan yang seolah tiada habisnya. Tetapi pernahkan kita tersadar bahwa kekaguman itu sering berubah menjadi piring yang terlalu penuh yang akhirnya tidak sedikit makanan yang terbuang yang menjadi sampah dan limbah organik.
Dosen Departemen Manajemen FEB UGM, Widya Paramita, Ph.D dan Arief Fathoni Argadian untuk melakukan kajian mendalam. Keduanya pun lantas melakukan penelitian terkait perilaku berkonsumsi dengan penuh kesadaran (mindful consumption). Melalui penelitian berjudul Awe at the Buffet: Turning Wonder into Mindful Consumption, keduanya berupaya untuk memahami bagaimana rasa kagum (awe) mempengaruhi cara seseorang mengonsumsi makanan di hotel buffet.“Pengalaman sehari-hari, seperti makan di restoran, menyimpan pelajaran besar tentang perilaku manusia dan tanggung jawab kita terhadap lingkungan,” jelas Widya Paramita di FEB UGM, Jum’at (17/10).
Mita mengakui bila restoran buffet hotel selalu identik dengan kelimpahan, dan hidangan yang tersaji tanpa batas. Bahkan suasana makan pun dirancang untuk memanjakan para tamu. Sayang, dibalik itu semua ada persoalan besar yang tersembunyi yaitu soal fenomena plate waste. Fenomena makanan sudah diambil tetapi pada akhirnya terbuang sia-sia. “Fenomena ini tentu saja bukan sekadar soal dapur, tetapi juga cermin perilaku konsumsi manusia. Pertanyaannya, apakah rasa kagum yang muncul di meja buffet bisa diarahkan menuju perilaku yang lebih mindful?,” ucapnya.
Menanggapi persoalan tersebut, menurut Mita, awe atau rasa kagum menunjuk pada persoalan sekaligus jawaban. Awe, disebutnya, bukan sekadar rasa kagum tetapi sebuah kondisi berupa emosi mendalam, dan biasanya muncul dari alam atau karya arsitektur. Meski dalam konteks ini, awe juga bisa hadir dari pengalaman buffet yaitu menu yang berlimpah, dekorasi yang memikat, atau pelayanan staf yang penuh perhatian. “Dan dari perasaan itu potensi mindful consumption bisa tumbuh. Konsumsi yang lebih sadar, penuh tanggung jawab, dan tidak berlebihan,” jelasnya.
Lantas, bagaimana proses itu terjadi? Menurut Mita mindful consumption tumbuh melalui self-transcendence. Bahwa rasa kagum dapat membawa manusia pada kesadaran spiritual, empati pada mereka yang kelaparan atau kepedulian terhadap kelestarian bumi. Berikutnya, tumbuh pula self-efficacy, berupa keyakinan bila manusia mampu mengendalikan diri, mampu untuk mengambil secukupnya, dan meyakini langkah kecil yang mereka lakukan memiliki dampak nyata.
Meski begitu, kata Mita, hasil penelitian yang telah terbit dalam International Journal of Hospitality Management 2025 memperlihatkan bahwa rasa kagum saja tidak cukup. Ia baru bermakna ketika berubah menjadi kesadaran dan keyakinan untuk bertindak. “Peran environmental knowledge juga penting. Sebab, semakin tinggi pemahaman seseorang tentang isu lingkungan, semakin kuat pula hubungan antara awe dan mindful consumption,” terangnya.
Dari sejumlah responden yang merespon penelitian ini, Mita menyampaikan mereka yang melakukan mindful consumption beralasan karena ajaran agama. Ajaran agama memberi dogma bila perilaku berlebihan sebagai perilaku yang tidak disukai Tuhan. Alasan lainnya menyisakan makanan sebagai perilaku yang tidak menghormati mereka yang kelaparan.
Dari keseluruhan alasan tersebut, ada pula yang berhasil mengontrol diri karena mereka beralasan lagi diet atau alasan kesehatan. Meskipun ada juga yang gagal karena tidak kuasa menolak kelezatan dessert yang terus tersaji. “Mindful consumption bukanlah hal yang mudah, tetapi sebuah pergulatan antara impuls dan kendali diri. Dari sini kita belajar, bahwa hotel dan restoran tidak hanya menjual makanan, tetapi juga membentuk pengalaman emosional. Dengan desain interior yang menenangkan, variasi menu yang menggugah, dan edukasi lingkungan yang halus, awe menurut pendapat saya dapat diarahkan menjadi perilaku konsumsi yang lebih bijak,” papar Mita.
Lagi-lagi Mita mengingatkan dar penelitian yang ia lakukan bahwa pembelajaran lain bagi konsumen bukan hanya soal kenyang tetapi juga rasa syukur. Setiap makanan yang dihabiskan adalah langkah kecil untuk bumi. Ia menandaskan awe dapat menjadi jembatan antara kemewahan dan keberlanjutan. “Dari pengalaman sederhana di meja buffet, kita bisa belajar mindfulness, kepedulian, dan tanggung jawab. Karena mindful consumption bukan sekadar tren, tetapi sebuah panggilan moral di tengah dunia yang penuh kelimpahan,” pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : iStock