Kelompok masyarakat marginal seringkali tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan hingga apalagi sampai ikut andil dan berpartisipasi dalam pembangunan. Padahal dalam kelompok tersebut terdapat berbagai kalangan yang membutuhkan pemenuhan hak, jangankan untuk dipenuhi hak-haknya, rekognisi sebagai bagian dari warga bangsa bahkan belum diakui secara sepenuhnya. Hal itu mengemuka dalam seminar diseminasi riset inklusi sosial, Selasa (22/10), di auditorium Fisipol UGM.
Abdi Suryaningati selaku Tech Lead for Capacity Development and Sustainability di AIPTIS menjelaskan, kelompok masyarakat marginal seringkali tidak dilibatkan dalam proses kemasyarakatan sampai pembangunan. Padahal dalam kelompok tersebut terdapat berbagai kalangan yang membutuhkan pemenuhan hak lebih dari masyarakat mayoritas. “Hasil riset ini memberikan gambaran bahwa jangankan dipenuhi hak-haknya, rekognisi sebagai bagian dari warga bangsa juga masih merupakan pekerjaan rumah kita semua,” ungkap team leader program peduli The Asia Foundation ini.
Hal senada juga disampaikan oleh Dekan Fisipol UGM, Dr. Wawan Mas’udi, S.IP., MPA.. Menurutnya, demokrasi bisa berjalan dengan baik jika seluruh individu yang memiliki status kewarganegaraan dapat berpartisipasi aktif. “Bukan hanya dari sisi hukum dalam pandangan kami, tapi juga keterlibatan semua kelompok, rekognisi, pengakuan segala hak, dan keterlibatan dalam tata kelola kuasa,” ucap Wawan.
Bagi Wawan, isu-isu soal inklusivitas perlu dipahami dan disalurkan menjadi kerangka kebijakan, sehingga dapat terwujud ekosistem inklusif bagi masyarakat.
Dari hasil riset kolaborasi tentang inklusi sosial tentang kondisi dan status kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial di Aceh, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Ditemukan ketiga provinsi tersebut menunjukkan perbedaan mencolok dari segi kelompok sosial yang tereksklusi. Yogyakarta contohnya, kelompok anak jalanan, waria, anak dan lansia, dan disabilitas adalah kelompok minoritas yang paling banyak tereksklusi. “Berbeda dengan Jogja, justru kalau di Sulawesi Selatan kita melihat eksklusivitas yang menyangkut rekognisi sosial dalam ekonomi, yaitu warga pesisir dan nelayan,” jelas Wawan.
Masyarakat daerah Maros, Sulawesi Selatan khususnya, mayoritas nelayan yang direkognisi hanyalah nelayan laki-laki. Padahal perempuan juga memiliki peran penting dalam ekonomi masyarakat pesisir. “Kondisi ini menyulitkan mereka untuk mendapatkan Kartu Tanda Nelayan (KTN) guna mengakses bantuan-bantuan pemerintah,” paparnya.
Eksklusivitas juga terjadi dalam proses masyarakat itu sendiri. Disampaikan oleh Dania, anggota tim peneliti bahwa pertemuan rutin masyarakat pesisir seringkali dilaksanakan malam hari, di mana sebagian besar nelayan melaut di waktu tersebut. Kondisi ini menyebabkan terjadinya eksklusivitas dan terbentuknya kelompok masyarakat terpinggirkan. Akibatnya, pemerintah tidak bisa menyalurkan hak kelompok tersebut dan menyebabkan maldistribusi. “Karena tidak ada distribusi, maka mereka juga tidak memiliki ruang dalam representatif atau misrepresentasi,” ujar Dania.
Eksklusivitas juga ditunjukkan dari sisi persepsi publik terhadap kebijakan yang berlaku. Riset kedua berjudul “Pembuatan Kebijakan Eksklusif di Indonesia Pasca Desentralisasi” menjelaskan bagaimana persepsi masyarakat terhadap kelompok-kelompok tertentu. Desi Rahmawati, peneliti di Research Centre for Politics and Government (PolGov) Fisipol UGM menyampaikan hasil survei menunjukkan mayoritas masyarakat tidak setuju adanya hak politik seperti pencalonan daerah dari kelompok waria. “Ada penolakan hak politik kelompok waria dari masyarakat. Sedangkan untuk disabilitas lebih banyak yang menyetujui, terutama di bidang sosial,” papar Desi.
Hal yang sama terjadi pada kebijakan di tingkat Gubernur, yakni larangan keturunan Tionghoa membeli tanah di Yogyakarta dalam Instruksi Gubernur DIY No. K.898/I/A75. Sebagian masyarakat menyatakan setuju atas berlakunya kebijakan yang berpotensi menciptakan eksklusivitas tersebut.
Menurut Desi, tidak ada partisipasi dan kontrol publik dalam kebijakan inklusi, sehingga implementasinya menjadi tidak maksimal. “Persepsi publik ini juga menjadi pendukung adanya eksklusivitas di masyarakat. Dampak kebijakannya, ada kecenderungan dianggap selesai saat kebijakan payungnya sudah ada. Setelah itu sudah,” pungkasnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik