
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Prof. Brian Yuliarto, Ph.D mengatakan jumlah pendaftar calon mahasiswa ke perguruan tinggi mengalami penurunan. Menurunya calon mahasiswa ini diakui Menteri Brian sebagai salah satu indikasi bahwa lapangan kerja semakin menurun. “Saya bertemu dengan beberapa Rektor PTN dan PTS, yang terjadi saat ini adalah jumlah pendaftar perguruan tinggi kita menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan tenaga kerja terampil, berpengetahuan dan berpendidikan tinggi itu juga turun. Artinya memang betul terkonfirmasi dari data, bahwa industri kita mungkin sebagian berubah menjadi perdagangan saja,” ujarnya dalam Kuliah Bestari (KB) bertajuk “Menyalakan Nurani Bangsa” yang disiarkan secara daring di Youtube UGM, Rabu (19/3).
Menteri beranggapan kini Indonesia tengah memasuki era penurunan kemampuan untuk memproduksi barang sehingga negara membutuhkan kebangkitan industri. Padahal munculnya beragam industri ini akan berdampak pada meningkatnya kesejahteraan sehingga masyarakat mampu memperbaiki gizi serta memiliki kemampuan untuk menyekolahkan anak hingga ke jenjang pendidikan tinggi.
Di sisi lain, negara juga dilema yang harus dihadapi antara menciptakan industri terlebih dahulu atau menyiapkan SDM unggulnya. “Kalau banyak men-create SDM unggul, riset inovasi kita kuat tapi industri tidak siap, mungkin kita juga akan bertepuk sebelah tangan. Demikian juga dengan industri yang mau meningkat tajam, kalau SDM tidak siap itu juga jadi permasalahan,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, rasio lulusan S2-S3 terhadap populasi usia produktif di Indonesia hanya mencapai 0,5%, jauh di bawah negara-negara maju yang memiliki rasio sekitar 9%. Bahkan jika dibandingkan dengan Malaysia, Vietnam, dan Thailand, yang memiliki rasio 2,4%, Indonesia masih tertinggal cukup jauh. Ia berpendapat dalam upaya keluar dari jebakan negara pendapatan menengah. “Bangsa Indonesia harus maju dan mampu bersaing dalam penguasaan teknologi dan inovasi,” katanya.
Salah satu tantangan besar bagi pendidikan tinggi di Indonesia adalah meningkatkan indeks penguasaan inovasi teknologi serta jumlah peneliti secara signifikan. Pasalnya, peringkat Indonesia dalam Global Innovation Index masih tergolong rendah, menunjukkan perlunya strategi yang lebih agresif dalam mendorong inovasi dan penelitian.
Selain itu, kata Menteri, perguruan tinggi diharapkan mampu mendorong peningkatan jumlah lulusan pascasarjana di bidang sains dan teknologi, melakukan investasi dalam penelitian, serta penguatan koneksi antara akademisi dan industri sebagai langkah penting untuk mempercepat kemajuan teknologi di Indonesia. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan potensi sumber daya manusia yang melimpah untuk mengejar ketertinggalan dan menjadi negara yang lebih kompetitif di era teknologi global. “Saat ini, kami sedang berupaya untuk membuatkan pendanaan secara bersama antara industri dan kampus terutama pada peneliti-peneliti yang memang sudah lama melakukan penelitian pada suatu produk. Harapannya, kita bisa menghasilkan produk yang siap dilakukan industrialisasinya secara komersial di Indonesia,” harapnya.
Menteri pun sempat menyinggung peranan ilmu sosial dalam industrialisasi berbasis teknologi. Permasalahan pemerataan dan ketimpangan sosial menjadi perhatian utama dalam pembangunan industri maju. Jika tidak dikawal dengan transformasi sosial yang baik, maka dampaknya bisa menjadi masalah besar bagi masyarakat. “Untuk itu, industrialisasi yang ambisius menjadi langkah strategis yang harus diambil. Namun, percepatan ini tidak boleh hanya berfokus pada aspek ekonomi dan teknologi semata, melainkan juga harus dilengkapi dengan analisis sosial dan kemasyarakatan,” katanya.
Menurutnya, pendekatan berbasis keilmuan akan sangat membantu dalam menyusun strategi yang tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. “Transformasi sosial yang efektif harus menjadi bagian integral dari pembangunan industri nasional,” jelasnya.
Terkait peluang terbatasnya akses terhadap bahan ajar berkualitas tinggi seperti yang tersedia di kampus-kampus unggulan, seperti ITB, UI, dan UGM, Menteri berujar ada peluang besar untuk memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) dalam mendistribusikan materi pembelajaran dari kampus-kampus terbaik ke daerah-daerah yang membutuhkan. Dengan sistem berbagi bahan ajar berbasis AI, mahasiswa di daerah terpencil dapat mengakses kuliah dari para profesor terbaik di Indonesia, serupa dengan konsep yang diterapkan oleh MIT yang menyebarkan materi kuliah ke berbagai negara, termasuk Afrika. “Jika diimplementasikan dengan baik, AI akan menjadi alat yang tidak hanya membantu dalam efisiensi pengajaran, tetapi juga mendorong pemerataan akses pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia,” pungkasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto. : Freepik