
Lima mahasiswa UGM melakukan penelitian terkait terjadinya pergeseran pranata mangsa, sebuah kearifan lokal milik masyarakat Jawa di kalangan petani dan nelayan di DIY. Penelitian tersebut dilakukan oleh tim mahasiswa Universitas Gadjah Mada melalui skema Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH). Tim PKM-RSH ini beranggotakan Nasywan Dody Kurniawan (Kartografi dan Penginderaan Jauh, 2024) sebagai ketua, Muhammad Lodhi Firmansyah, Mochammad Rafli Nur Setyawan, Fayyadh Faliha Faruq, dan Safrina Auliya Maruni (Antropologi Budaya angkatan 20230. Tim inipun didampingi oleh Dr. Sandy Budi Wibowo, S.P., M.Sc., dosen Fakultas Geografi UGM sebagai dosen pembimbing.
Nasywan Dody Kurniawan menjelaskan menilik data dari BMKG pada 31 Agustus 2024, wilayah DIY mengalami anomali pendinginan antara -2,0°C hingga -0,5°C dibandingkan kondisi normalnya 21°C hingga 26°C. Fenomena ini, disebutnya berpotensi mengubah pola migrasi ikan yang berdampak pada penurunan hasil tangkapan nelayan, sekaligus mengganggu aktivitas pertanian yang bergantung pada keteraturan musim. “Kearifan lokal Pranata Mangsa hadir sebagai pengetahuan tradisional masyarakat agraris Jawa yang sejak lama digunakan untuk membaca tanda-tanda alam,” ujar Nasywan di Kampus UGM, Kamis (25/9).
Ia menjelaskan dalam masyarakat Jawa pranata mangsa tidak hanya sebagai kalender musim tanam, tetapi berfungsi juga sebagai pedoman masyarakat pesisir untuk menentukan waktu melaut. Pengetahuan yang lahir dari pengalaman panjang lintas generasi ini kini menarik untuk diteliti kembali sebagai alternatif dalam menghadapi ketidakpastian iklim. “Kami berusaha melihat bagaimana pengetahuan Pranata Mangsa dipahami oleh nelayan dan petani di DIY, serta sejauh mana pedoman ini masih dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Nasywan.
Muhammad Lodhi Firmansyah menambahkan berdasar penelitian yang dilakukan di sembilan lokasi pantai dan dua belas area persawahan di DIY, Tim PKM-RSH menemukan adanya pergeseran pengetahuan Pranata Mangsa antar generasi. Untuk kalangan nelayan pada kelompok usia 60 keatas maka tingkat pemahaman terhadap pranata mangsa sebagai pedoman masih berada di angka 71,54 persen, sedangkan pada kelompok usia 15–30 tahun di angka 51,27 persen.
Hal serupa juga terjadi pada petani, untuk kelompok usia lanjut tingkat pemahaman sebesar 65,32 persen, sementara generasi muda (Gen Z) hanya 42,22 persen. “Temuan ini menggiring pada simpul pewarisan pengetahuan tradisional ini semakin melemah seiring berjalannya waktu,” terang Lodhi.
Menyikapi kondisi ini, menurut Lodhi, perlu untuk segera ditindaklanjuti. Menurutnya, jika tidak ada strategi konservasi yang melibatkan generasi muda maka dikhawatirkan pranata mangsa sebagai pedoman membaca musim akan semakin kehilangan relevansinya. “Padahal pranata mangsa ini berpotensi mendukung adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan,” jelasnya.
Dari kajian yang telah dilakukan, Tim PKM-RSH UGM berharap penelitian ini tidak hanya berhenti pada ranah akademik, tetapi dapat mendorong kebijakan daerah dalam melestarikan kearifan lokal yang dimilikinya. Sebagai pengetahuan lokal yang telah lama ada, pranata mangsa berpeluang bisa diakui sebagai bagian dari warisan budaya takbenda Indonesia. “Agar eksistensinya tetap terjaga, dunia melalui UNESCO semoga mengingat pranata mangsa ini belum masuk sebagai Warisan budaya takbenda. Harapannya penelitian ini bisa menjadi pijakan awal untuk menghubungkan pengetahuan tradisional dengan sains modern. Dengan begitu, Pranata Mangsa tetap hidup sebagai kearifan lokal yang relevan menghadapi perubahan iklim,” pungkas Lodhi selaku inisiator penelitian ini.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : freepik & dok.Tim PKM-RSH UGM