Museum selama ini dipandang hanya sebagai tempat untuk menyimpan barang dan informasi sejarah. Padahal, informasi sejarah tersebut mampu menjadi bahan pembelajaran yang potensial di era Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Untuk itu, Museum UGM mengadakan Webinar Nasional bertajuk “Peran Museum Universitas di Era MBKM: Magang di Museum” yang sekaligus merupakan perayaan ulang tahun ke-10 Museum UGM pada Rabu (13/12).
Personalized learning atau pembelajaran sesuai peminatan adalah konsep utama yang diusung oleh MBKM. Menurut Direktur Pendidikan dan Pengajaran, Prof. dr. Gandes Retno Rahayu, MMedEd, Ph.D., kesempatan belajar di luar kelas bukanlah hal baru, namun memang paling tinggi cakupannya di jenjang perguruan tinggi. Kendati demikian, personalisasi belajar perlu disesuaikan dengan aspek-aspek pembelajaran yang ada. “Ternyata dari personalized learning itu ada berbagai objektif yang bisa dicapai. Ada peningkatan learning effectiveness, ada belajar yang lebih personal, ada satisfaction yang meningkat, ada motivasi yang dikuatkan, ada keterlibatan yang lebih kuat, ada pengkayaan pengalaman, kolaborasi, dan berbagai macam. Jadi, ada berbagai macam hal yang bisa dicapai dengan personalized learning,” tutur Prof. Gandes.
Museum UGM telah memenuhi kriteria untuk menjadi mitra MBKM. Pencapaian ini tentunya perlu disiapkan secara matang agar museum tidak lagi hanya sekedar tempat menyimpan barang bersejarah, namun juga menjadi bagian dari pembelajaran mahasiswa. Prof. Gandes menjelaskan, program belajar merupakan kunci pertama untuk menjadikan museum sebagai tempat personalized learning yang maksimal. Untuk merumuskan program belajar, museum perlu merumuskan terlebih dahulu kebutuhan belajar seperti apa yang potensial. Contohnya ketika seseorang mengunjungi museum, pembelajaran tidak hanya berkutat pada objek museum, melainkan juga proses mengkurasi, hingga pengelolaan museum.
“Pengelolaan museum pun bisa dilihat dari berbagai aspek, misalnya aspek finansial, bagaimana networking ke berbagai museum dilakukan, dan seterusnya. Tentu saja beragam needs yang berpotensi itu akan tergantung koleksi dari museum itu,” tambahnya. Kolaborasi antar museum melalui jejarang pengelola museum perlu didorong untuk merumuskan kembali peran museum sebagai sarana pembelajaran. Bisa juga dilihat melalui kompetensi museum seperti apa yang bisa dikatakan bagus dan bisa menjadi contoh bagi museum lain. Kebutuhan belajar ini nantinya akan bermuara pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dari mahasiswa.
Meskipun baru dirintis, Jejaring Museum Perguruan Tinggi Indonesia (JMPTI) memegang peran penting dalam mengelaborasi perkembangan museum. Didirikan pada 19 April 2019 dan digagas oleh Dr. Ciwuk Musiana Yudawasthi., M.Hum, JMPTI telah memiliki jejaring internasional melalui University Museums and Collections International Council of Museum (UMAC ICOM). Menurutnya, museum perguruan tinggi memiliki potensi yang besar. Sayangnya, museum-museum perguruan tinggi tidak bisa berkembang maksimal karena bukan menjadi tempat rujukan belajar.
“Jadi, perguruan tinggi sebenarnya adalah awal mula di mana kecintaan terhadap museum bisa dikobarkan. Ini secara tidak langsung terbukti dari sejarah museum di dunia. Dulu museum hanya dihadiri oleh orang-orang berpendidikan. Jadi, sangat eksklusif sekali. Kemudian pertama kali dibuka di Oxford University, dia adalah museum yang pertama kali dikelola secara modern,” papar Ciwuk.
Upaya tersebut dilakukan dengan menggabungkan berbagai forum dan galeri yang ada dengan museum universitas. Hal ini membuat daya tarik museum semakin besar, dan menjadi pusat pembelajaran. Potensi-potensi museum perguruan tinggi di Indonesia juga perlu didukung untuk bisa mencapai tahap tersebut.
Penulis: Tasya