Dampak perubahan iklim semakin hari menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Mulai dari suhu panas yang tinggi, kemarau berkepanjangan, hingga ancaman kelaparan mulai dirasakan. Setiap negara sepakat untuk mendorong upaya pengurangan emisi karbon melalui beberapa sektor, salah satunya adalah bioteknologi. Sekolah Pascasarjana UGM mengangkat isu tersebut dalam Seminar Nasional bertema “Biotechnology Approach for Green Transition” pada Sabtu (21/10).
Inovasi green biotechnology diperkenalkan sebagai salah satu upaya untuk mendukung penanaman hijau yang ramah lingkungan. Data Low Carbon Development Indonesia menyebutkan, sektor pertanian menyumbang setidaknya 13% dari total emisi karbon di Indonesia. Disamping itu, pertanian justru merupakan sektor paling rentan terhadap perubahan iklim. Green biotechnology memanfaatkan sejumlah rekayasa genetika, diferensiasi tanaman, biofertilizer, dan lain-lain untuk meminimalisir produksi emisi karbon. Selain itu, pengembangan bioteknologi dapat mendorong ketahanan tanaman terhadap perubahan iklim, khususnya tanaman pangan.
“Green biotechnology ini tidak hanya meningkatkan kuantitas, tapi juga kualitas tanaman. Salah satunya itu tanaman pangan padi, ya. Dan dalam penelitian itu, padi berpigmen sangat menarik. Selain karena dia memiliki nutrisi yang lebih tinggi dibanding padi putih, dia juga dapat digunakan sebagai model tanaman untuk mempelajari mekanisme ketahanan terhadap stress biotik dan abiotik, ucap Pakar Pusat Studi Bioteknologi UGM, Dr. Yekti Asih Purwestri, S.Si., M.Si. Padi berpigmen, seperti beras merah, cempo ireng, dan Inpari Arumba memang belum banyak menjadi konsumsi pokok masyarakat. Padahal kandungan nutrisinya lebih tinggi dan lebih rendah gula dibanding beras putih.
Tanaman padi beras putih yang banyak diproduksi di Indonesia seringkali mengalami gagal panen akibat hama, seperti Xanthomonas oryzae pv. Oryzae atau Hawar Daun. Hama ini menyebabkan sebagian daun berubah coklat dan pertumbuhan padi tidak maksimal. Uniknya, penelitian mengungkap bahwa padi berpigmen jauh lebih resisten terhadap hama ini. “Kita lakukan penelitian dengan menginfeksi tanaman, kemudian kita cek bagaimana ketahanan tanaman terhadap bakteri. Kita temukan bahwa Pari Ireng dan Cempo Ireng itu mempunyai ketahanan atau resisten terhadap bakteri xoo,” tutur Asih.
Selain inovasi tanaman pangan, bambu adalah salah satu tanaman yang ternyata memiliki potensi tinggi pada industri. Bambu selama ini dikenal sebagai bahan membuat perabotan rumahan, bahan makanan, hingga alat musik. Namun pemanfaatan tersebut hanya dilakukan dalam skala kecil. Marc Peeters dari PT. Bambu Nusa Verde menuturkan berbagai potensi bambu untuk industri. “Cina sudah banyak memanfaatkan bambu. Bambu bisa diolah jadi banyak hal, bisa untuk industri, tekstil, pangan, obat-obatan, bahkan perumahan. Cina itu mayoritas masyarakatnya juga memanfaatkan bambu,” kata Marc.
Marc juga menuturkan, pemanfaatan bambu harus disesuaikan, antara varietas tanaman dengan kebutuhannya. Bambu dengan memiliki ketahanan dan kekuatan yang berbeda tergantung jenisnya. Jenis bambu yang rapuh tidak bisa dijadikan sebagai pondasi bangunan. Sebaliknya, jenis bambu yang padat dan kuat akan sayang jika hanya dimanfaatkan sebagai dekorasi. Untuk itu, diperlukan riset dan teknologi untuk mencari kecocokan varietas bambu, ataupun melakukan upaya penggabungan, agar hasil panen bambu dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Baik inovasi bambu maupun padi adalah bagian dari upaya untuk memenuhi poin-poin Suistanable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan PBB. Aspek keberlanjutan semakin penting untuk menjamin kehidupan di masa depan. Setiap pihak bukan sedang berlomba-lomba menjual inovasi terbarukan untuk adaptasi perubahan iklim, melainkan saling berkolaborasi dan berkomitmen menghadapi tantangan yang akan datang.
Penulis: Tasya