Dikutip dari laman IQAir pukul 06.20 WIB, US Air Quality Index (AQI US) atau indeks kualitas udara di Ibu Kota tercatat di angka 156. Dengan data tersebut menjadikan DKI Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk nomor empat di dunia Rabu pagi ini (16/8).
Menyitir dari Kompas.com berdasarkan tingkat polusi, DKI Jakarta masuk dalam kategori kondisi tidak sehat sejak tiga hari terakhir. Adapun konsentrasi polutan tertinggi dalam udara DKI Jakarta hari ini PM 2.5. Konsentrasi tersebut 13 kali nilai panduan kualitas udara tahunan World Health Organization (WHO). Sedangkan cuaca di Jakarta pada Rabu pagi ini berkabut dengan suhu 25 derajat celsius, kelembapan 72 persen, gerak angin 3,7 km/h, dan tekanan sebesar 1014 milibar. Karenanya merekomendasikan untuk masyarakat agar mengenakan masker, menghidupkan penyaring udara, menutup jendela, dan hindari aktivitas outdoor.
Menyoroti kualitas udara di Jabodetabek selama sepekan terakhir menjadikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengangkatnya saat memimpin rapat terbatas (ratas). Presiden Jokowi menyampaikan kualitas udara di Jabodetabek selama sepekan terakhir di angka 156 sebagai kondisi dan tidak sehat. Ada beberapa faktor dinilai sebagai penyumbang kualitas udara buruk di Jabotabek, di antaranya pembuangan emisi dari transportasi yang menggunakan energi fosil dan aktivitas industri di wilayah Jabodetabek.
Dr. Fahmy Radhi, MBA, dosen Sekolah Vokasi UGM sekaligus pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, mengakui ada 3 PLTU yang beroperasi di sekitar Jabodetabek, yakni PLTU Suryalaya, PLTU Banten, dan PLTU Lontar, namun emisi karbon ketiga PLTU itu sudah sangat rendah. Ketiga PLTU, menurutnya, sudah menekan di bawah ambang batas emisi sesuai ketentuan Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Republik Indonesia No 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi.
Kementerian LHK bahkan pernah menganugerahkan Proper Emas kepada ketiga PLTU tersebut sebagai penghargaan tertinggi bagi perusahaan yang terbukti melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dan melakukan upaya-upaya pengembangan masyarakat secara berkesinambungan.
“Penghargaan itu sangat tepat karena selama ini ketiga pembangkit itu sudah menerapkan teknologi Electrostatic System Precipitator (ESP) yang mengendalikan abu hasil proses pembakaran dan menjaring debu PM 2,5 sehingga tidak berhamburan yang mencemari udara,” ujar Fahmy di Kampus UGM, Rabu (16/8).
Disamping itu, dalam penilaiannya ketiga PLTU itu juga menerapkan teknologi Low NOx Burner yang dapat menekan polusi NO2 sangat rendah, di bawah ambang batas ditetapkan Kementerian LHK. Dengan demikian kualitas buruk udara di Jabodetabek bisa disimpulkan berasal dari asap kendaraan bermotor dan asap pabrik sebagai penyumbang terbesar polusi.
Karenanya ia berpendapat mengingat polusi udara Jabotabek sudah sangat ekstrem, maka kebijakan pemerintah pun diharapkan juga harus ekstrem. Untuk menekan polusi dari kendaraan bermotor, pemerintah harus menerapakan kebijakan ganjil-genap kendaraan pribadi di seluruh wilayah Jabodetabek selama 24 jam.
Kebijakan ini diharapkan akan mengurangi setengah jumlah kendaraan pribadi yang melaju di jalanan Jabodetabek. Untuk mendukung kebijakan itu, Pemerintah DKI diharuskan menambah bus angkutan massal berbasis listrik dan lebih serius lagi dalam pengembangan ekosistem Electric Vehicle.
“Sedang untuk mengatasi polusi udara dari asap pabrik, pemerintah harus menindak tegas perusahaan yang tidak mengolah limbah dan masih menghasilkan asap yang memperburuk polusi udara. Semua itu harus ditempuh, tanpa kebijakan ekstrem, kita berharap banyak untuk mampu menekan laju polusi udara buruk dan tidak sehat di wilayah Jabodetabek,” terangnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Kompas.id