Ancaman provokasi hoaks jelang Pemilu 2024 mulai hangat dibicarakan. Berbagai langkah antisipasi untuk menghadapi persebaran hoaks banyak disarankan oleh para ahli. Menanggapi isu tersebut, Korps Mahasiswa Komunikasi di Departemen Ilmu Komunikasi UGM berupaya menyiapkan strategi anti-hoaks melalui Workshop Fact-Checking bertema “Check The Fact, See Through The Fake: Berantas Gangguan Informasi Menuju Pemilu 2024” pada 9-10 September 2023.
Pelatihan yang diinisiasi oleh Korps Mahasiswa Komunikasi (KOMAKO) UGM tersebut turut menggandeng kolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Google News Initiative (GNI). Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Zainuddin Muda Z. Monggilo, S.I.Kom., M.A. hadir sebagai pembicara utama dalam materi urgensi pemberantasan hoaks. “Indeks literasi digital Indonesia masih tidak berbanding lurus dengan kekebalan terhadap hoaks dan tingkat literasi yang diidamkan. Salah satu alasannya karena konten-konten hoaks di media sosial itu banyak yang dianggap sebagai pemberitaan resmi. Itu implikasi yang buruk, dan membuat orang-orang sebagian besar memandang remeh pemberitaan dari jurnalisme profesional saat ini. Apalagi kalau sudah masuk dalam ranah kontestasi pemilu, itu luar biasa. Ada ujaran kebencian, provokasi, hingga menyebabkan polarisasi,” jelasnya.
Persebaran hoaks juga tidak hanya disebabkan karena kemampuan masyarakat yang rendah untuk mendeteksi sebuah informasi. Kebingungan untuk mencari sumber yang kredibel juga menjadi faktor utama. Era serba digital yang diikuti dengan kebebasan berbicara membuat informasi mengalir cepat dan saling tumpang tindih, sehingga masyarakat cenderung terpapar oleh informasi yang paling cepat, bukan paling tepat. Bahkan banyak konten media sosial yang mengadaptasi informasi dari media jurnalisme, namun dengan mengganti informasi yang sebenarnya. Hal ini juga didukung oleh kebiasaan digital masyarakat yang lebih banyak berselancar di media sosial tanpa kemampuan untuk membedakan informasi yang benar dan tidak.
“Berdasarkan data yang ada, aktivitas terbanyak di platform digital Indonesia saat ini adalah menonton YouTube. Sedangkan untuk mengecek laman pemberitaan itu tetap berada di nomor kesekian. Sekarang media sosial yang meroket naik itu Tiktok. Dan sangat potensial menjadi sarang hoaks, sejumlah riset sudah membuktikan. Bahkan sekarang informasi itu berjalan berdasarkan tren, jadi platform pemberitaan juga mengikuti topik yang viral itu seperti apa,” tutur Zam. Namun di samping itu penelitian menemukan data anomali dalam kebiasaan mengakses informasi masyarakat. Meskipun media sosial paling banyak diakses, tapi masyarakat menganggap tingkat kredibilitas televisi dan pemberitaan masih lebih tinggi.
Anomali tersebut cukup menyulitkan untuk mencapai kesimpulan apakah masyarakat Indonesia kebal terhadap hoaks atau tidak. Tapi Zam juga menegaskan, bahwa urgensi pemberantasan hoaks sudah terbukti dengan adanya berbagai kerusuhan karena persebaran hoaks. Tersebarnya informasi yang salah, terlebih yang bersifat provokatif dapat menimbulkan sentimen negatif yang memicu konflik. Apalagi kondisi menjelang Pemilu 2024 membuat banyak simpatisan melakukan kampanye dan melempar provokasi satu sama lain. Zam menghimbau pada masyarakat untuk aktif melakukan fact-checking mandiri maupun berjejaring salah satunya melalui laman dan fasilitas cek fakta yang tersedia secara gratis misalnya melalui cekfakta.com.
“Jadi ini ada laman khusus untuk mengecek apakah sebuah berita itu hoaks atau bukan. Kolaborasi ini berdiri kurang lebih di tahun 2018. Awalnya, juga untuk menghadapi Pemilu 2019. Media-media ini merasa bahwa potensi hoaks di Indonesia itu sudah merajalela, jadi media ini dan komunitas masyarakat sipil kemudian berkolaborasi untuk ikut memberantas hoaks. Kolaborasi ini cukup fenomenal dan mendapat perhatian dunia, karena media yang biasanya bersaing, sekarang justru membantu mengecek apakah informasi yang beredar itu hoaks atau bukan,” terang Zam.
Zam menjelaskan, kerja sama dalam melawan hoaks juga dilakukan dalam satu payung lembaga bernama International Fact Checking Network (IFCN). Lembaga ini mengumpulkan seluruh lembaga pemeriksa fakta untuk menjaga agar informasi media tetap independen. “Adanya cekfakta.com dan kolaborasi media bersama akademisi untuk memberantas hoaks ini harapannya dapat membantu masyarakat untuk memilah mana informasi yang benar dan mana yang hoaks. Sehingga, dampak hoaks ini bisa diminimalkan karena masyarakat sudah kebal dan tercipta pemilu 2024 yang minim akan hoaks dan provokasi,” tambahnya.
Penulis: Tasya