Pemerintah belum lama berniat akan berkolaborasi dengan Cina dalam pengembangan lahan pertanian di Kalimantan Tengah. Kesepakatan tersebut diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dan merupakan hasil pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, dalam forum High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI–RRC di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jum’at (19/4).
Bahkan sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, sudah direncanakan untuk pelaksanaan kerja sama bidang pertanian dilakukan di Kabupaten Pulang Pisau. Di Kabupaten Pulang Pisau telah dipersiapkan satu juta hektar lahan sebagai lokasi yang bisa digunakan untuk proyek tersebut.
Terkait program ini, pemerintah berjanji akan ada pelibatan mitra lokal. Dalam hal ini adalah Bulog yang berfungsi sebagai offtaker dan bertugas menyerap hasil panen dari proyek penanaman padi tersebut.
Bagi Bayu Dwi Apri Nugroho, S.T.P., M.Agr., Ph.D., secara teori hal ini tentu akan menjadi sesuatu yang menggembirakan karena teknologi pertanian dari Cina sudah terbukti menghasilkan produktivitas yang tinggi. Apabila terlaksana tentunya swasembada beras bukan lagi isapan jempol semata.
Meski begitu, menurutnya terdapat kompleksitas sangat besar membahas pertanian di Indonesia. Menurutnya tidak ada pihak yang bisa menggeneralisasi atau menggaransi keberhasilan penanaman padi di Cina juga akan mencapai keberhasilan yang sama di Indonesia.
“Sukses disana belum tentu akan mendapatkan hasil yang sama di Indonesia, dalam hal ini di Kalimantan Tengah. Ada banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan komoditas pertanian, termasuk kondisi lingkungan seperti iklim, tanah, hama, penyakit, dan aspek sosial masyarakat,” ungkapnya di Kampus UGM, Senin (6/5).
Sebagai ahli sekaligus pengamat di bidang pertanian, agrometeorologi, ilmu lingkungan dan perubahan iklim, ia menyampaikan ada kearifan lokal dalam sektor pertanian yang harus mendapat perhatian. Kearifan lokal ini sangat kental, dan sebagai contoh di sekitar Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal adanya istilah pranata mangsa atau penanggalan Jawa sebagai panduan bagi petani dalam menjalankan aktivitas bercocok tanam.
Kalender Pranata Mangsa disusun berdasarkan pada peredaran Matahari dan diwariskan secara lisan serta bersifat lokal dan temporal sehingga suatu perincian yang dibuat untuk suatu tempat tidak sepenuhnya berlaku untuk tempat atau lokasi lain. Biasanya pranata mangsa ini digunakan petani sebagai pedoman untuk menentukan awal masa tanam.
“Dari sisi cara budi daya juga berbeda, hal ini juga tidak terlepas dari kondisi lingkungan setempat. Sebagai contoh, untuk daerah dengan kondisi tanah yang memiliki pH tinggi atau basa, sehingga untuk menjadikan lahan tersebut bisa ditanami dengan kondisi ideal, harus dilakukan treatment untuk menurunkan pH tersebut menjadi lahan ideal atau standar,” katanya.
Belum lagi menyangkut dengan skala yang lebih sempit dalam satu hamparan, antara petak satu dengan petak lain terkadang berbeda. Ada petak sawah yang lebih subur, dan ada petak sawah lainnya yang kurang subur.
Hal ini semacam ini, menurutnya juga dipengaruhi cara budi daya petani di masing-masing petak tersebut. Pertanyaannya, lantas bagaimana kita menyikapinya mengenai rencana proyek tersebut?
Bayu menuturkan dalam situasi global saat ini menolak atau membatasi kerja sama dengan negara sangat tidak mungkin dilakukan. Meskipun menerapkan pertanian secara langsung di lahan yang luas tanpa uji coba pada skala demplot dinilai juga sebagai langkah tidak tepat.
Menurutnya yang sangat ditakutkan adalah kegagalan karena bibit tidak bisa tumbuh dengan baik atau tidak menghasilkan produktivitas seperti yang diharapkan. “Bagaimanapun kondisi lingkungan Cina dan Indonesia dalam hal ini Kalimantan Tengah memang berbeda,” ucapnya.
Karena itu, pendapatnya sebaiknya proyek penanaman tersebut tidak langsung dilakukan di area yang luas, dan bisa dilakukan semacam piloting dengan demplot untuk pengujian terlebih dahulu. Apakah bibit yang berasal dari Cina tersebut cocok dengan kondisi lingkungan dan bisa diterapkan di Kalimantan Tengah.
Di sinilah peran akademisi atau lembaga riset dituntut untuk bisa memikirkan dan solusi. Banyak pihak diharapkan turut mengamati sekaligus menguji apakah bibit dari Cina tersebut bisa ditanam di Indonesia secara langsung atau justru diperlukan suatu modifikasi supaya bisa ditanam dengan kondisi riil di lahan.
“Jika bibit dari Cina telah diuji dan terbukti dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, serta menghasilkan produktivitas tinggi seperti di Cina, maka tentunya diperlukan peningkatan skala,” tandasnya.
Penulis: Agung Nugroho
Foto: freepik.com