Pengamat iklim dan lingkungan Universitas Gadjah Mada, Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Si., menerangkan bahwa udara di musim kemarau dengan curah hujan dan kecepatan angin yang rendah memang sedikit banyak memengaruhi tingkat pencemaran udara yang beberapa waktu belakangan terbilang cukup tinggi.
“Secara teori memang benar, karena jika ada hujan maka gas hasil pembakaran akan larut dengan air dan diturunkan ke permukaan sehingga udara kembali bersih. Dengan kondisi sekarang di mana sudah lama tidak hujan dan kelembaban juga cukup rendah, keberadaan gas tadi jadi banyak,” terangnya.
Meski demikian, ia menekankan bahwa cuaca dan iklim bukan menjadi satu-satunya penyebab tingginya angka pencemaran udara. Faktor pemicu dari aktivitas manusia mulai dari sarana transportasi, industri, hingga permasalahan sampah ikut berkontribusi pada persoalan ini.
“Kecenderungannya di musim penghujan kualitas udara lebih bagus dibanding musim kemarau, tapi pada saat pandemi kita melihat bahwa kualitas udara juga cukup baik bahkan saat musim kemarau. Jadi itu bukan satu-satunya variabel, meskipun musim penghujan tetap jika sumber pencemaran cukup tinggi maka kualitas udara bisa buruk juga,” imbuhnya.
Emilya menuturkan, masyarakat dapat memantau kualitas udara melalui Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang diperbarui setidaknya satu kali dalam sehari. ISPU digunakan untuk menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu dan didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika, dan makhluk hidup lainnya.
Perhitungan ISPU dilakukan pada 7 parameter yakni PM10, PM2.5, NO2, SO2, CO, O3, dan HC. PM2.5 yang merupakan penambahan baru, menurut Emilya, penting untuk dipantau karena berbahaya bagi kesehatan.
“Baru ditambahkan karena ternyata disinyalir akan berpengaruh pada kesehatan manusia. PM2,5 bisa masuk ke dalam saluran hidung, kalau sudah sampai paru-paru akan susah untuk keluar,” terangnya.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, nilai ISPU terpantau berada pada kategori sedang atau tingkat kualitas udara yang masih dapat diterima pada kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan. Dengan nilai ISPU 84, angka ini masih di bawah batas kategori Tidak Sehat pada angka 101 – 200, namun masih lebih tinggi dari batas angka kualitas udara baik di angka 0-50.
Perubahan pada gaya hidup menurutnya tetap menjadi solusi yang baik untuk mengatasi masalah pencemaran udara. Menggunakan transportasi umum dan menghindari pengolahan sampah dengan cara membakar menjadi langkah penting yang perlu diambil di kalangan masyarakat.
“Menanam pohon juga menjadi salah satu cara yang baik. Selain berfungsi sebagai peneduh, pohon yang ditanam di tepi jalanan sebisa mungkin dapat mengikat gas-gas berbahaya yang mengancam kesehatan,” imbuhnya.
Penulis: Gloria
Foto: Freepik.com