Pembagian rice cooker dalam konteks kebijakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial masuk dalam kategori bansos. Bansos merupakan bagian untuk mewujudkan perlindungan sosial sehingga hal itu merupakan kewajiban pemerintah melakukan perlindungan sosial kepada warga negara. Mengacu pada Undang-Undang No.11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, maka perlindungan sosial itu dimaknai sebagai semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial. Jika melihat permasalahan terkini, maka yang menjadi guncangan dan kerentanan sosial saat ini adalah kekeringan. Kekeringan membuat kesulitan dalam pemenuhan air dan dampak yang ditimbulkan berikutnya adalah kesulitan pangan.
Dr. Krisdyatmiko, dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, mengatakan kebijakan pembagian rice cooker tidak tepat dikarenakan guncangan dan kerentanan sosial saat ini adalah kemarau panjang dan rawan pangan, bukan rawan alat untuk memasak pangan. Jika ditelisik lebih lanjut argumen yang digunakan pemerintah untuk kebijakan pembagian rice cooker adalah bansos. Hal itu kurang tepat tetapi lebih tepat sebagai upaya untuk substitusi energi karena ternyata saat ini sedang kelebihan pasokan listrik PLN. Sehingga masyarakat didorong untuk menggunakan listrik yang yang berlebih tersebut. Penggunaan rice cooker ditunjukkan kepada masyarakat miskin yang diharapkan mampu menggantikan penggunaan tabung gas melon 3 kg.
Jika membicarakan tentang listrik maka harus tahu sumbernya darimana jika pemerintah membuat gagasan untuk memanfaatkan energi yang lebih bersih. “Jika gas yang berasal dari minyak bumi itu dianggap tidak terlalu bersih dibandingkan dengan listrik, tapi kalau kita mengacu pada data ESDM tahun lalu itu 67% listrik berasal dari batubara dan 16% berasal dari gas. Hal ini berarti sebenarnya sama-sama energi tidak terbarukan, baik antara listrik saat ini yang dihasilkan dari Indonesia dan gas itu sendiri. Saya kira perlu dipertimbangkan jika hendak melakukan substitusi energi antara gas minyak bumi dengan listrik, karena sepanjang sumber listrik masih tergantung batubara maka dibandingkan dengan gas itu sebenarnya sama saja,” paparnya.
Mengacu pada Permen ESDM No. 11 tahun 2023 tentang tentang penyediaan alat memasak berbasis listrik, maka ketentuan yang diatur di dalamnya adalah kebijakan tersebut ditujukan kepada keluarga yang menggunakan listrik prioritas 450-900 watt. Jika dilakukan pengecekan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) maka masih menjadi kendala terkait dengan akurasi siapa calon penerimanya. Hal ini bisa berkaca pada beberapa waktu yang lalu ketika ada keributan dikarenakan masih adanya aparatur sipil negara (ASN) yang ternyata menerima bansos dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT). Tentunya kejadian tersebut merupakan dampak dari kurangnya akurasi data, maka perlu diperbaiki agar kedepannya tidak menimbulkan problematika yang sama sehingga menimbulkan kecemburuan sosial.
Dr. Krisdyatmiko mengungkapkan fenomena karakter rumah tangga miskin di beberapa daerah pedesaan yang saat ini sudah relatif kecil adalah masih ada yang memasak menggunakan dahan dan ranting. Kegiatan ini biasanya dilakukan di desa yang berlokasi dekat hutan dengan memanfaatkan dahan ranting yang sudah kering. Kalau karakter rumah tangga yang seperti itu diminta untuk mengganti memasak dengan rice cooker maka akan menimbulkan pemborosan energi. Hal ini dikarenakan awalnya menggunakan SDA yang tidak merusak karena memanfaatkan sisa-sisa dahan dan ranting kering beralih menggunakan rice cooker sehingga akan bertambah pengeluaran hariannya untuk biaya listrik. Justifikasi membandingkan dengan keluarga yang selama ini menggunakan gas itu akan lebih murah sekian ribu per bulan jika memasak nasi atau bahan pangan yang lain beralih menggunakan listrik. Tetapi dalam prakteknya masih ada keluarga yang tidak menggunakan gas untuk memasak yang tentunya akan menambah biaya untuk mereka. Hal yang perlu digaris bawahi terkait kebijakan pembagian rice cooker adalah terkait perbaikan data yang harus segera dilakukan, mempertimbangkan penambahan beban keluarga, dan bansos itu harusnya bersifat sementara sehingga tidak boleh terus menerus.
Kebijakan itu bisa dilihat dari jangka waktunya yaitu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Kalau kebijakan bansos itu termasuk dalam perlindungan jangka pendek, sedangkan untuk jangka panjangnya berupa jaminan sosial seperti asuransi sampai pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan. “Saat ini yang perlu kita kaji adalah apa dampak kemarau yang berkepanjangan kepada masyarakat dan bagaimana kerentanan yang mereka hadapi, itu yang kita support. Kalau prediksi saya saat ini adalah air dan berkaitan dengan pangan, bukan bantuan rice cooker. Jadi jangan tentang alat memasaknya tetapi apa yang dimasak oleh masyarakat,” tuturnya.
Ia menambahkan jika membicarakan rice cooker, keluarga di Indonesia sudah banyak memanfaatkan itu sehingga akan menimbulkan pemborosan. Hal yang dikhawatirkan adalah akan adanya oknum-oknum yang ketika sudah menerima bantuan tersebut kemudian barang tersebut dijual, meskipun secara ketentuannya tidak diperbolehkan untuk dijual. “Pada konteks kekinian masyarakat sedang membutuhkan bahan pangan, bisa saja rice cooker tersebut dijual agar ada anggaran pengadaan pangan bagi keluarga. Oleh karena itu, perlu dikaji masyarakat mana yang paling terdampak dalam kekeringan ini. Pemerintah memberikan support dalam jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan pangan bukan alat untuk memasak. Pada jangka menengah dan jangka panjang adalah bagaimana mengatasi kedepannya agar masyarakat tersebut menjadi tidak terdampak dalam artian bisa mandiri, berdaya, dan memanfaatkan potensi lokal sebagai basis penghidupan mereka,” tutupnya.
Penulis: Rifai
Foto: void.id