Pemerintah Indonesia menegaskan akan berhentikan impor terhadap komoditas strategis seperti beras, jagung, gula, dan garam di tahun 2025 ini. Keputusan yang telah diumumkan setelah rapat terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden bersama sejumlah Menteri terkait pada akhir Desember silam ini, menjadi upaya pemerintah untuk meningkatkan swasembada pangan dengan fokus pada peningkatan produksi dalam negeri.
Menanggapi target tersebut, Guru Besar bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UGM, Prof. Subejo, S.P., M.P., Ph.D., menuturkan untuk mencapai target kebijakan stop impor tidaklah mudah mengingat sektor pertanian beserta sektor kelautan dan perikanan sebagai penopang ketahanan pangan masih menghadapi banyak kendala yang masih belum terselesaikan. “Mempertimbangkan data impor komoditas strategis pada beberapa tahun terakhir, nampaknya program stop impor dalam satu tahun ini sangat sulit, rentang tiga sampai empat tahun masih lebih realistis,” ujar Subejo, Selasa (7/1).
Menurutnya, semangat dan gagasan untuk menghentikan impor pada komoditas beras, jagung, gula, dan garam sangatlah baik dan perlu diapresiasi, meskipun akan memiliki dampak yang sangat kompleks terhadap ketahanan pangan nasional. Data-data dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan impor keempat komoditas strategis tersebut masih sangat tinggi, sebagai contoh pada komoditas beras masih menyentuh angka 3 juta ton/tahun, sedangkan jagung mendekati 1 juta ton/tahun. Bahkan pada komoditas gula menyentuh angka impor yang sangat impresif senilai 4 juta ton/tahun. Hal serupa juga terjadi di komoditas garam dengan angka impor mencapai 2 juta ton/tahun, sebuah ironi mengingat 63 persen wilayah Indonesia merupakan perairan dengan garis pantai yang panjang. “Untuk menutup kekurangan tersebut, kapasitas produksi domestik dan ketahanan sektor pangan harus meningkat sangat signifikan dengan berbagai macam pra-syarat, seperti ketersedian lahan produksi, infrastruktur, akses terhadap input, pembiayaan, SDM, teknologi dan inovasi, serta tata kelola dan kelembagaan yang memadai,” tuturnya.
Terkait ketersediaan lahan produksi, skala usaha pertanian yang sangat kecil menjadi perhatian Subejo. Data Sensus Pertanian di tahun 2023 menunjukkan petani yang mengelola lahan seluas 1.000 meter persegi hanya sejumlah 7 juta petani. Meskipun mengalami peningkatan sekitar 70 persen dibandingkan 10 tahun sebelumnya, namun layanan penyuluhan dan kapasitas SDM petani yang masih terbatas, ditambah dengan sejumlah problematika lainnya menyebabkan efisiensi produksi rendah dan tingkat produktivitas relatif stagnan. “Pembukaan lahan-lahan pertanian baru yang memiliki kesesuaian tinggi dalam skala terbatas dan manageable harus dilakukan secara bertahap,” jelasnya.
Tidak hanya itu, infrastruktur irigasi salah satu hal yang sangat menentukan bagi petani bisa menanam komoditas pertanian dengan baik atau tidak. Sebab berdasarkan data indeks pertanaman untuk padi masih kurang dari 1,5 yang berarti lahan-lahan padi secara nasional baru ditanami 1,5 kali dalam setahun. Hal ini disebabkan terutama karena ketersediaan air yang masih sangat terbatas. Ia menegaskan, jika pembangunan infrastruktur skala besar dan menengah yang ada di lintas provinsi, provinsi dan kabupaten maupun irigasi mikro di desa-desa mendapat prioritas pembangunan dan revitalisasi, maka potensi untuk meningkatkan indeks pertanaman menjadi sangat besar. Sedangkan untuk peningkatan produksi dapat dilakukan melalui introduksi varietas padi yang adaptif terhadap sumber daya air yang terbatas, salah satunya adalah Padi Gamagora 7 yang dikembangkan oleh UGM.
Mengingat ketergantungan sebagian masyarakat terhadap impor pada keempat komoditas strategis tersebut, menurut Subejo, secara keseluruhan jika penghentian impor pangan yang tidak diikuti oleh peningkatan signifikan dalam produksi pangan domestik dapat memperburuk ketahanan pangan jangka pendek, menyebabkan kenaikan harga pangan, dan menambah tekanan inflasi. Hal ini tentunya akan berisiko mengurangi daya beli masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah. Untuk mencegah dampak negatif ini, kebijakan stop impor harus disertai dengan langkah-langkah mitigasi selain peningkatan kapasitas produksi domestik, seperti diversifikasi, penguatan sistem distribusi bagi beras, jagung, gula dan juga garam, serta kebijakan sosial dan bantuan pangan yang sekiranya bermanfaat bagi masyarakat rentan. “Jika kebijakan stop impor tidak didukung oleh langkah-langkah yang tepat, tentunya nanti akan ada potensi peningkatan ketegangan sosial, ketidakstabilan ekonomi, dan dampak negatif lainnya. bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan,” jelas Subejo.
Menurutnya, keberhasilan kebijakan stop impor ini sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan petani, yang harus saling mendukung untuk memastikan peningkatan produktivitas pertanian, penguatan ketahanan pangan, dan stabilitas harga pangan domestik. Peran sektor swasta dan investor dianggap memiliki peran penting dalam mendukung kebijakan stop impor yang digaungkan oleh Pemerintah. Pasalmnya, sektor swasta dan investor dapat berkontribusi melalui kemitraan dengan petani, seperti pembelian hasil pertanian secara konsisten ataupun melalui penyuluhan dan pendampingan teknologi. “Sektor swasta juga dapat melakukan investasi dalam teknologi pertanian, sebagai contoh pemanfaatan Internet of Things (IoT), pengolahan pasca panen dan penyimpanan untuk memudahkan distribusi, serta dengan memberikan bantuan pembiayaan,” katanya.
Subejo juga mengingatkan kebijakan stop impor bagi komoditas strategis yang diterapkan oleh pemerintah bisa berpotensi memengaruhi hubungan perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra impor utama. Namun demikian, jika kebijakan tersebut dilakukan bertahap dan konsisten, serta dapat dibuktikan kemampuan peningkatan efisiensi produksi dan daya saing produk-produk nasional maka proses akan bisa lebih smooth. Jika kebijakan ini terbukti mendukung produksi dalam negeri dan menurunkan ketergantungan pada impor, Indonesia bisa memperkuat ketahanan pangannya. “Dengan efisiensi produksi yang tinggi, maka sebetulnya secara ekonomi dan factual, memang produk nasional seharusnya mampu bersaing dengan produk dari negara manapun,” tutupnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Freepik