Pada tanggal 14 Februari 2024, lebih dari 200 juta pemilih di dalam negeri beserta diaspora Indonesia di seluruh dunia akan ambil bagian dalam pesta demokrasi lima tahunan. Mendekati masa 100 hari sebelum penyelenggaraan pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden, manuver dari para elite politik dan apa yang terjadi di baliknya telah menjadi bahan pembicaraan yang cukup umum ditemui di berbagai sudut tanah air.
Banyak orang sudah menentukan sosok pemimpin pilihannya, bahkan dengan tegas menunjukkan dukungan terhadap salah satu pihak yang berkontestasi. Meski suasana politik mulai memanas, sejumlah pakar UGM sepakat bahwa pemilu kali ini terasa berbeda. Polarisasi kemungkinan besar tidak akan sedahsyat dua pemilu sebelumnya, dan potensi konflik horizontal maupun vertikal pun relatif kecil.
“Kemungkinan polarisasi yang ekstrem hampir tidak ada. Apalagi pada pemilu legislatif, relatif tidak menghasilkan konflik di level grassroot,” terang Dr. Riza Noer Arfani, M.A., dosen Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM, dalam kegiatan Pojok Bulaksumur yang berlangsung Jumat (27/10).
Potensi konflik yang lebih kecil, menurut Riza, juga mencakup ranah media digital. Berbeda dengan sebelumnya, euforia masyarakat terhadap digitalisasi menurutnya sudah cukup stabil. Seiring dengan semakin meningkatnya literasi terhadap teknologi dan media digital, masyarakat menurutnya sudah lebih bisa memilah informasi yang mereka peroleh melalui media. “Orang sudah tidak benar-benar percaya dan mengandalkan media, sehingga potensinya lebih kecil,” kata Riza.
Pandangan tentang atmosfer pemilu yang lebih tenang diamini juga oleh Dr. Abdul Gaffar Karim, M.A., dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM. Pada pemilu tahun 2014 dan 2019, pertarungan dukungan dan polarisasi telah mulai memanas jauh hari sebelum pemilu berlangsung. Hal ini, menurutnya, tidak tampak pada pemilu kali ini. “Sekarang tidak seperti itu, jadi mungkin akan lebih tenang dibandingkan tahun 2014,” ungkapnya pada kesempatan yang sama.
Bahaya Politik Dinasti dan Erosi Demokrasi
Pada diskusi santai dengan wartawan berbagai media lokal dan nasional ini, kedua pakar UGM tersebut memberikan pandangan mereka terhadap berbagai isu seputar pemilu, mulai dari kemungkinan pemilu presiden berlangsung dalam dua putaran, signifikansi peran dari pimpinan partai politik, hingga politik dinasti.
Terkait topik terakhir, Gaffar mengungkapkan bahwa fenomena demikian sebenarnya dapat ditemui di banyak negara dan di berbagai era. Politik dinasti, terangnya, terjadi ketika kesempatan dan pengalaman langsung untuk mempelajari politik dinikmati oleh keturunan dari mereka yang memang telah berkecimpung di dunia politik. Meski hal ini sendiri merupakan sebuah privilese, menurutnya isu yang perlu menjadi perhatian lebih terletak pada bagaimana proses menuju kandidasi berlangsung.
“Persoalannya bukan politik dinasti, tapi bagaimana politik dinasti dimungkinkan untuk berlangsung. Di negara maju ini bisa berjalan tanpa ada rekayasa. Di Indonesia ini agak kurang sehat,” ungkapnya.
Isu politik dinasti dan berbagai isu lainnya, terang Gaffar, membuat sorotan publik terhadap negara cukup kuat. Namun demikian, ia melihat bahwa potensi konflik vertikal antara negara dengan masyarakat pun relatif kecil, terutama jika melihat gejala yang terjadi beberapa tahun belakangan.
Minimnya konflik memang menjadi sesuatu yang perlu disyukuri, namun alasan di baliknya menurut Gaffar cukup miris, yaitu karena masyarakat tidak terkonsolidasi dengan baik. “Negara sangat terkonsolidasi, sementara masyarakat tidak terkonsolidasi. Ada konflik kecil di ranah elite tetapi mereka selalu cepat menemukan cara untuk rekonsiliasi dan dengan cepat menegosiasi,” ucapnya.
Berkaca pada fenomena yang terjadi di berbagai negara di dunia, ia pun mengingatkan akan bahaya erosi demokrasi, jika gerakan masyarakat tidak terlihat sehingga tidak ada oposisi yang cukup kuat. Hal ini, menurutnya, juga menjadi isu yang perlu menjadi perhatian dan diskusi penting di balik hingar bingar pemilu 2024.
Penulis: Gloria
Fotografer: Firsto