Program pembangunan lumbung pangan kembali menjadi sorotan. Sejumlah pihak menyebutnya sebagai program gagal bahkan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.
Menurut pakar pertanian UGM, Prof. Subejo, S.P., M.Sc., Ph.D., gagasan pembangunan lumbung pangan sebagai langkah antisipasi terhadap ancaman krisis pangan dunia sebenarnya sangat baik. Namun sayangnya, rancangan program ini belum cukup matang dan implementasinya terkesan terburu-buru.
“Program ini mulai digenjot pada masa pandemi Covid-19 sebagai respons cepat terhadap kondisi dunia yang saat itu mengalami krisis pangan. Karena itu agak terburu-buru dijalankan ketika sebenarnya secara desain program dan segala aspek pendukungnya belum cukup siap, masih setengah-setengah,” tuturnya.
Subejo menerangkan, konsep lumbung pangan yang sering dikenal dengan food estate atau corporate farming memang identik dengan pengelolaan lahan pertanian dalam luasan yang besar hingga ribuan hektare, yang memproduksi komoditas pangan tertentu dengan manajemen yang baik sehingga menghasilkan produk yang seragam dan berkualitas. Pengelolaan lahan tersebut bisa diserahkan kepada korporasi sepenuhnya maupun dengan melibatkan masyarakat.
Selain pada pengelolaan, aspek penting lainnya dari program lumbung pangan adalah ketersediaan berbagai komponen pendukung dari hulu ke hilir, mulai dari penyedia modal, sarana produksi, hingga pembelinya. Pada kawasan lumbung pangan yang sudah ada saat ini, menurut Subejo komponen-komponen tersebut belum disiapkan dengan baik.
“Nampaknya praktiknya belum siap, kawasan dibuka tetapi pelakunya belum siap. Kalau hanya membuka lahan bisa saja tetapi yang sangat penting adalah keberlanjutannya. Jangan lupa kita sudah punya pelajaran berharga tahun 1990an ketika membuka lahan satu juta hektare di Kuala Kapuas Kalimantan Tengah, sudah didatangkan transmigran, dicoba ditanami padi, tapi tidak berhasil karena lahannya sebagian tanah masam dan gambut yang tidak sesuai untuk padi,” imbuhnya.
Menurutnya, upaya menggenjot produk pangan tidak harus dilakukan dengan pembukaan lahan baru. Hal ini bisa menjadi tidak terlalu efektif jika dilakukan di daerah dengan kualitas lahan yang kurang ideal, serta tidak didukung dengan ketersediaan sumber daya manusia, ketersediaan pasar, dan aspek pendukung lainnya.
Ia tidak memungkiri bahwa pengembangan lahan pertanian pangan di luar Jawa kerap terkendala persoalan kesesuaian lahan. Karakter petani yang berbeda juga bisa menghadirkan tantangan tersendiri “Misalnya di Kalimantan Tengah kebanyakan adalah peladang, sehingga kalau dipaksa bertani secara intensif seperti di Jawa mereka tidak siap,” terangnya.
Ia memaparkan alternatif metode yang bisa dipilih, yaitu mengubah lahan kering menjadi lahan sawah dengan pembangunan irigasi dalam skala kecil dan membangun embung, atau mengubah pengelolaan lahan yang sudah ada agar lebih efektif dan efisien dengan berbagai inovasi dan teknologi tepat guna pertanian serta menghasilkan nilai tambah produksi yang lebih tinggi. Dalam skala kecil di desa, pemanfaatan dana desa untuk mendukung infrastruktur pertanian sangat prospektif.
Pengelolaan lahan pertanian bisa dilakukan melalui koperasi tani, kelompok tani, BUMDES atau kelembagaan lainya. Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan lahan, menurutnya tidak harus semua petani di desa terlibat langsung mengolah lahan. Sebagian dari mereka bisa masuk pada industri dan jasa pedesaan melalui aktivitas turunan dari pertanian seperti pengolahan hasil pangan, pengelolaan desa wisata, dan lainnya.
“Mereka tetap bekerja di desa, tetapi tidak seluruhnya mengelola sawah. Melalui koperasi tani atau BUMDES bisa dibuat sistem bagi hasil sehingga mereka bisa menerima keuntungan lahan pertaniannya. Ini lebih efektif dibandingkan jika semua orang bekerja di sawah,” paparnya.
Ia menambahkan, jika petani sulit mengelola lahan secara mandiri, petani bisa bermitra dengan perusahaan yang memiliki manajemen yang baik dan dapat menjadi off taker produk pertaniannya. Petani tetap bisa bekerja sesuai kebiasaan masing-masing dengan supervisi dari korporasi, sehingga ada standarisasi, tata kelola yang baik, dan jaminan pasar. “Kalau itu bisa dilakukan mungkin itu relatif ideal,” imbuh Subejo.
Penulis: Gloria
Foto: Freepik.com