Sudah hampir dua minggu program Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Telah banyak bermunculan respon mengenai program ini dari berbagai kalangan masyarakat. Mulai dari para siswa hingga ahli mengomentari program yang saat ini sedang berjalan. Tidak sedikit masyarakat yang mengkritik keberlangsungan program ini. Pasalnya masih banyak hal yang sepertinya belum dibahas lebih mendalam dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis terutama indikator keberhasilan dari tiap tujuan di program ini.
Memang sudah sewajarnya terdapat pro dan kontra dalam suatu kebijakan yang diambil pemerintah. Mulai dari kontroversi soal dana yang dipatok untuk masing – masing anak yang awalnya Rp 15.000 menjadi Rp 10.000. Perhitungan ini tentu saja menimbulkan perdebatan apakah dapat mencukupi jumlah gizi yang dibutuhkan oleh seorang anak. Begitu juga dengan menu makanan yang disajikan. Dengan keterbatasan dana tersebut, menu yang disajikan pun belum tentu cukup untuk menyesuaikan dengan selera anak-anak. Benar saja bahwa terdapat beberapa kasus yang muncul seperti lauk yang tidak diminati anak dan berakhir terbuang karena tidak dikonsumsi.
Dekan Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof. Eni Harmayani, mengatakan berbagai persoalan yang muncul di lapangan dalam 2 minggu ini, program MBG ini perlu dikaji lebih dalam mengenai jenis menu makanan dan cara pengolahan agar tidak terjadi food waste. “Setiap daerah memiliki budaya atau kebiasaan tersendiri dalam mengolah pangan sehingga penting untuk diadakan standarisasi nasional dalam penentuan menu, kandungan gizi bahan baku, dan pengolahan pangan tersebut agar kandungan gizinya tetap terjaga,” kata Eni, Senin (20/1).
Untuk memantau indikator keberhasilan dan standarisasi nasional tersebut perlu diadakan kolaborasi dengan berbagai pihak agar hasilnya maksimal. Mulai dari pihak sekolah, ahli pangan, ahli gizi, dan pemerintah daerah setempat. “Program ini perlu adanya indikator keberhasilan yang melibatkan sekolah karena lingkupnya yang kecil sehingga proses pemantauan pun lebih terjaga dan bisa melibatkan orang tua yang lebih mengerti anaknya,” ungkapnya.
Menurut Eni, dapur umum yang saat ini digunakan untuk program MGB juga harus dikelola secara profesional sehingga tidak menjadi kendala. Sehingga banyak pertimbangan yang harus dilakukan. Seperti apakah makanan yang disajikan masih layak makan, proses preparasi atau penyiapan makanan, dan kebersihan dari dapur itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak tentang pengolahan, penyimpanan, dan distribusi makanan. “Perlu adanya edukasi tentang bagaimana cara menyiapkan makanan yang sehat dan bergizi”, tambahnya.
Bagi Eni, program ini memang nantinya diharapkan mampu menjadi program yang terencana baik itu kondisi makanan, teknis produksi sampai indikator keberhasilannya sehingga dapat diukur dengan baik. Sebab, program MBG merupakan salah satu program yang positif yang mana perlu dilakukan karena ada urgensi untuk meningkatkan gizi masyarakat Indonesia. “Apabila program ini tidak terencana dengan baik maka keefektifan dan keberlanjutannya pun dipertanyakan,” pungkasnya.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Tribuntangerang