Presiden Joko Widodo belum lama ini telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia No. 32 Tahun 2024 Tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas pada 20 Februari lalu. Peraturan ini dikeluarkan karena perusahaan pers mulai terombang-ambing bisnisnya oleh masifnya perkembangan dunia media digital. Padahal, keberadaan jurnalisme berkualitas lewat media mainstream sebagai penyalur informasi yang baik pada publik masih sangat dibutuhkan, namun minat masyarakat terhadap media sosial dan media digital jauh lebih besar karena tingkat kecepatan dan berbagai kemudahan akses yang ditawarkan.
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Drs. I Gusti Ngurah Putra, M.A., menilai kebijakan tentang publisher rights perlu dikawal sejauh mana implementasinya dalam mendukung pertumbuhan bisnis industri pers di tanah air atau sekedar pelengkap peraturan saja. “Dampaknya belum bisa kita lihat lebih jauh. Regulasi penting, tapi perjuangan untuk mewujudkan keuntungan yang mereka butuhkan itu saya kira itu yang diperlukan,” kata Ngurah dalam rilis yang dikirim ke wartawan, Rabu (3/4) terkait Diskusi Diskoma Edisi 12 yang bertajuk Publisher Rights: Mampukan Merealisasikan Kerja Bisnis yang Setara antara Perusahaan Pers dan Platform Digital.
Ngurah menuturkan digitalisasi sekarang ini menjadi sumber media baru yang berhasil menimbulkan disrupsi pada berbagai aspek. Salah satu yang paling besar terdampak adalah persebaran informasi. Pada dunia digital, masyarakat terpapar oleh arus informasi yang begitu cepat. Apalagi dengan kemudahan dan personalisasi digital, minat masyarakat terhadap informasi di media digital, khususnya media sosial lebih tinggi dibanding media pers. “Kondisi ini berpengaruh terhadap keberlangsungan bisnis media pers di tengah disrupsi digital,” jelasnya.
Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri, Dewan Pers Indonesia, Totok Suryanto, mengakui beberapa publisher platform digital menyatakan keberatannya terhadap aturan baru ini. Ia menyebutkan Publisher dari perusahaan Meta misalnya, dalam pertemuannya dengan Dewan Pers waktu itu menyebutkan bahwa berharap mereka tidak termasuk yang akan dikenai ketentuan untuk memberikan bagi hasil kepada publisher di Indonesia, khususnya pers. “Perpres ini dalam konteks hubungan antara platform digital program dengan pers, tidak mencakup yang namanya konten kreator dan lain-lain. Menurut mereka, ada ruang yang sudah mereka siapkan untuk publisher di negara ini untuk menggunakannya,” terang Totok.
Tidak hanya perusahaan Meta, perusahaan Google juga menyampaikan hal yang hampir sama sama. Sebagai platform global, keduanya mengaku telah menjalin berbagai kerja sama bisnis dengan beberapa lembaga pers. Mayoritas kerja sama juga ditujukan untuk mengawal jurnalisme berkualitas, karenanya mereka tidak ingin dikenakan peraturan tersebut.
Totok memperkirakan, peraturan presiden ini nanti akan disesuaikan dengan apa yang telah diupayakan oleh masing-masing publisher. Sedangkan saat ini, keberadaan perusahaan pers di Indonesia begitu menjamur. Berbeda dengan dulu, saat ini platform digital memberikan kemudahan bagi seseorang untuk membangun media pers digitalnya sendiri tanpa modal yang besar. Tapi di sisi lain, kondisi perekonomian pers Indonesia saat ini berada di posisi yang mengkhawatirkan. Artinya memang begitu banyak media yang lahir, begitu banyak perangkat distribusi konten yang banyak, maka kemudian banyak sekali pilihan-pilihan bagi pemasang iklan dan menjadi lebih mudah. “Dalam kondisi yang mengkhawatirkan ini, kita mencoba menyusun semacam aturan agar terjadi keadilan dalam interaksi antara pers dan platform global,” papar Totok.
Meski Perpres disebut sebagai salah satu cara yang efektif dan cepat untuk mengatasi masalah di dua sisi. Totok menilai melalui aturan publisher rights ini, diharapkan dapat tercapai dua tujuan utama. Pertama, tercipta jurnalisme berkualitas yang bisa didistribusikan di platform global. Namun di sisi lain, media pers bisa mendapatkan pemasukan sebagai publisher di media digital. Sekaligus bagian dari implementasi dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-17, yakni “Kemitraan untuk Mencapai Tujuan”. Kerja sama ini diharapkan dapat mendorong penguatan pers sebagai penyedia sumber informasi berkualitas dan bertanggung jawab.
Penulis: Tasya
Editor: Gusti Grehenson
Foto: Freepik