Kabinet Merah Putih resmi dilantik pada 21 Oktober 2024 lalu. Selama lima tahun ke depan, kabinet yang beranggotakan 48 menteri, 5 kepala badan, dan wakil menteri akan menentukan arah gerak pembangunan nasional. Komposisi para menteri saat ini mengundang analisis pakar terkait prospek pemberantasan korupsi dan target pemerintah mewujudkan kemandirian pangan dan energi.
Dosen Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M., menyebut, unsur utama dalam pemberantasan korupsi ini adalah lembaganya sendiri, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa tahun terakhir, upaya pelemahan KPK dan hukum terus dilakukan. Mulai dari kewajiban anggota KPK menjadi ASN, aturan pemeriksaan, hingga penghapusan kewenangan pimpinan KPK.“Jika berani, ada undang-undang yang harus direvisi untuk memperkuat KPK. Bukan justru melemahkan. Itu akan lebih membuktikan bahwa kabinet fokus memberantas korupsi,” ujar Akbar dalam diskusi Pojok Bulaksumur yang bertajuk Menelaah Tantangan Kabinet Merah Putih, Rabu (30/10), di Kampus UGM.
Ia mengutip, laporan Badan Pusat Statistik mengukur Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada tahun 2024 hanya berada di angka 3,85%. Angka ini menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Maka dari itu, pemberantasan korupsi tidak bisa hanya disandarkan pada satu lembaga saja.
Akbar menyebut, langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah untuk menurunkan tingkat korupsi adalah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Selama ini, pelaku korupsi tidak dihukum setimpal dengan kerugian yang ditanggung negara. “Selama ini aturan hukum yang mengatur tindak pidana korupsi hanya menghitung penerima, pemberi, dan kejelasan tujuan. Sedangkan kerugian lainnya tidak dapat dipidana,” katanya.
Selain itu, ia meminta Pemerintah dan DPR diharapkan mampu memberikan kejelasan hukum dalam seluruh sistem dan mekanisme guna menutup kemungkinan korupsi.“Jangan sampai nanti tujuannya membangun pangan kemudian jadi korupsi,” tambah Akbar.
Sejalan dengan itu, Alfath Bagus Panuntun selaku Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM juga menjelaskan tantangan pemerintah ke depan dalam membangun ketahanan pangan yang berkeadilan. Menurutnya, cita-cita ketahanan pangan masih jauh dari kata optimis. Hambatan yang dihadapi begitu kompleks, seperti perubahan iklim, kesejahteraan dan regenerasi petani, hingga mafia pertanian. “Sepertinya agak skeptis, sejauh ini kita masih bicara ketahanan belum kemandirian. Kemudian bicara tentang konflik, kalau kita bahas kemandirian, kita harus juga bahas politik pangan,” terang Alfath.
Alfath menyayangkan proyek food estate yang terbukti gagal, namun tetap dilaksanakan dan diagendakan dalam pemerintahan Prabowo. Masalah pangan muncul dari hulu sampai hilir. Padahal, pangan juga menjadi komponen utama dalam program Makan Bergizi Gratis yang diusung Prabowo-Gibran sejak masa kampanye.“Saya kira pemerintah perlu berantas mafia. Tentu urusannya dengan aktor terlibat. Para petani terpaksa membeli dengan harga tinggi,” tambahnya.
Ia juga menyarankan agar pemerintah membuat roadmap kemandirian pangan agar mampu melaksanakan kebijakan secara terukur.
Belum selesai dengan persoalan korupsi dan ketahanan pangan, pemerintah menghadapi tantangan transisi energi nasional. Indonesia sebagai negara yang dikaruniai sumber daya energi melimpah menjadikan tingkat ketergantungan penggunaan energi fosil terlampau tinggi. Dosen Fakultas Teknik UGM, Dr. Rachmawan Budiarto menyebutkan setidaknya ada dua hal utama yang perlu diperhatikan pemerintah untuk mewujudkan swasembada energi. “Indonesia masih berjuang keras meningkatkan kemampuan finansial kita. Sekaligus juga untuk menurunkan emisi karbon. Dua agenda ini menentukan nasib bangsa Indonesia,” jelas Rachmawan.
Ketahanan dan kemandirian adalah dua hal berbeda yang masih sulit diraih dengan kondisi saat ini. Kemampuan finansial dan ekonomi negara saja tidak cukup untuk membangun sistem energi terbarukan, sedangkan pada tahun 2025 target bauran energi sebesar 23% kemungkinan belum bisa tercapai.
Dilanjutkan Rachmawan, agenda transisi energi bukan kewajiban satu kementerian saja, namun juga kolaborasi dan cross-cutting dengan kementerian lain. Cadangan batu bara dalam negeri mulai menipis, bauran energi belum optimal, dan kebutuhan energi nasional makin meningkat. Pemerintah perlu meningkatkan kolaborasi lintas sektor, khususnya dengan sektor swasta untuk bersama-sama membangun swasembada energi.“Jika kita ingin merayakan swasembada energi, maka harus ada arahan jelas dari Pak Prabowo. Semisal, swasembada energi juga disertai dengan penurunan emisi,” tutupnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto