
Perubahan iklim yang ditandai dengan kenaikan suhu bumi telah menjadi ancaman serius yang semakin nyata bagi sektor pertanian, terutama bagi tanaman pangan yang menjadi sumber utama kebutuhan masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Data yang dirilis oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan bahwa pada tahun 2024 terjadi kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celsius dibandingkan dengan era pra-industri, menjadikannya tahun terpanas dalam sejarah selama satu dekade terakhir. Jika tidak segera ditanggulangi dengan strategi mitigasi dan adaptasi yang tepat, kondisi ini dapat memperburuk krisis pangan di masa depan, memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi, serta mengancam ketahanan pangan nasional yang selama ini menjadi pilar utama dalam menjaga stabilitas dan kesejahteraan masyarakat.
Pakar pertanian, agro-meterorologi, dan perubahan iklim UGM, Bayu Dwi Apri Nugroho, S.TP., M.Agr., Ph.D., menjelaskan bahwa kenaikan suhu bumi berdampak negatif terhadap tanaman pangan. Banyak tanaman mengalami gagal panen akibat meningkatnya suhu, penyebaran hama penyakit yang lebih luas, serta gangguan metabolisme tanaman yang menghambat pertumbuhan dan kualitas hasil panen. “Semua komoditas pertanian terdampak, karena setiap tanaman memiliki kondisi lingkungan ideal untuk tumbuh optimal. Misalnya, teh dan kopi yang tumbuh di daerah pegunungan membutuhkan suhu 13-25°C, sementara padi membutuhkan suhu 20-33°C. Jika suhu meningkat melebihi ambang batas, tanaman bisa mengalami kerusakan,” ujar Bayu, Selasa (25/3).
Ia melanjutkan, perubahan suhu bumi tidak hanya berdampak pada pertumbuhan tanaman tetapi juga mengganggu pola tanam dan masa panen petani. Tenaga Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) ini menjelaskan bahwa peningkatan suhu membuat petani harus menyesuaikan komoditas yang ditanam dengan varietas yang lebih tahan terhadap suhu tinggi dan tidak membutuhkan banyak air. “Kita tidak bisa lagi menerapkan pola tanam seperti biasa. Dengan suhu yang lebih tinggi, tanaman membutuhkan lebih banyak air, sehingga jadwal tanam dan panen menjadi tidak menentu,” tambahnya.
Selain mengurangi produktivitas, kenaikan suhu bumi juga berdampak pada kualitas hasil panen secara signifikan, yang dapat memengaruhi nilai ekonomi serta aspek gizi dari hasil pertanian. Bayu menyebutkan bahwa suhu tinggi dapat menyebabkan perubahan dalam pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, seperti penundaan atau percepatan berbunga, serta perubahan ukuran dan kualitas buah atau biji yang dihasilkan. Misalnya, beberapa tanaman mengalami pertumbuhan buah yang lebih kecil, kulit yang lebih tebal, atau tekstur yang lebih keras akibat suhu yang terlalu panas.
Dari sisi kandungan nutrisi, peningkatan suhu dapat menyebabkan penurunan kadar protein dan nitrogen pada tanaman seperti kedelai, yang berakibat pada turunnya nilai gizi yang dikonsumsi masyarakat. Selain itu, peningkatan suhu juga bisa mempercepat proses pematangan tanaman secara tidak normal, yang berujung pada penurunan kualitas rasa, aroma, serta ketahanan hasil panen terhadap penyimpanan dan distribusi. “Akibatnya, tidak hanya petani yang dirugikan secara ekonomi, tetapi juga konsumen yang akan mengalami keterbatasan akses terhadap pangan berkualitas tinggi,” jelas Bayu.
Pada akhirnya, penurunan produksi tanaman pangan akan berdampak pada ketahanan pangan nasional secara signifikan, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang tidak dapat ditunda. Bayu bertutur pangan adalah penentu stabilitas suatu negara, karena ketersediaannya sangat memengaruhi kesejahteraan rakyat dan stabilitas ekonomi nasional. Jika produksi menurun secara drastis, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mencukupi stok pangan, baik melalui peningkatan efisiensi produksi, diversifikasi pangan, impor bahan pangan dari negara lain, maupun penerapan inovasi di sektor pertanian guna meningkatkan produktivitas lahan pertanian yang ada. “Tanpa upaya mitigasi yang tepat, krisis pangan dapat memicu inflasi harga bahan pokok, menurunkan daya beli masyarakat, serta berpotensi menimbulkan ketidakstabilan sosial dan ekonomi di tingkat nasional,” ungkapnya.
Bayu menekankan bahwa langkah utama dalam menghadapi dampak perubahan iklim adalah dengan reboisasi dan adaptasi dalam sistem pertanian. Hal ini bisa dilakukan melalui adaptasi dengan menanam varietas yang lebih toleran terhadap suhu tinggi dan mengurangi ketergantungan pada tanaman yang membutuhkan banyak air. Selain itu, inovasi dan teknologi pertanian juga berperan penting dalam menghadapi tantangan ini. Beberapa peneliti UGM telah menghasilkan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap suhu tinggi, serta pengembangan bangunan pertanian seperti greenhouse dan plant factory yang dapat mengontrol suhu. Namun, Bayu mengakui bahwa penerapan teknologi ini masih terkendala oleh biaya yang tinggi.
Dalam menghadapi ancaman terhadap ketahanan pangan, akademisi dan pemerintah tentunya memiliki peran penting. Menurut Bayu, akademisi harus terus mengembangkan varietas yang lebih tahan terhadap suhu tinggi, sementara pemerintah perlu meningkatkan pendampingan bagi petani agar mereka dapat menyesuaikan jadwal dan pola tanam. Penyuluhan mengenai teknik bertani yang lebih adaptif, seperti hidroponik dan pemanfaatan lahan pekarangan, juga harus diperkuat. Jika langkah-langkah adaptasi yang sesuai dengan kondisi lingkungan dapat diterapkan secara efektif, ditambah dengan dukungan inovasi teknologi pertanian yang terus berkembang, maka sektor pertanian Indonesia akan memiliki peluang besar untuk bertahan menghadapi berbagai tantangan akibat perubahan iklim yang semakin ekstrem. “Dengan begitu, ketahanan pangan nasional dapat tetap terjaga dalam jangka panjang, baik dari segi ketersediaan bahan pangan, distribusi yang merata ke seluruh daerah, maupun kualitas hasil pertanian yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat di negeri ini,” pungkasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Dok. narasumber