
Gelombang seruan aksi di berbagai daerah dan maraknya tagar di media sosial beberapa pekan terakhir menjadi tanda bahwa kegelisahan publik terus meluas. Fenomena ini tidak hanya hadir di jalanan, tetapi juga di ruang digital yang kini menjadi kanal penting bagi masyarakat untuk bersuara. Dalam sebuah diskusi yang digelar Universitas Gadjah Mada, Dosen Fakultas Psikologi UGM, Prof. Dr. Faturochman, M.A., menilai bahwa keterlibatan generasi muda dalam demonstrasi tidak bisa dilepaskan dari kondisi psikologis masyarakat yang kian tertekan. Ia menyebut bahwa aksi massa ini merupakan reaksi emosional sekaligus sosial yang muncul ketika saluran aspirasi formal tidak lagi mampu menampung keresahan. “Ketika orang kecewa dan tidak ada tanda-tanda perubahan, maka kesesakan itu akan melahirkan perlawanan, dan ini adalah reaksi yang wajar dalam kehidupan sosial kita,” tuturnya (Kamis, 4/9).
Faturochman menekankan bahwa partisipasi mahasiswa, khususnya generasi Z, dalam demonstrasi justru menegaskan bahwa mereka memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu keadilan. Menurutnya, generasi ini tidak apatis, melainkan sedang mencari bentuk ekspresi politik yang sesuai dengan pengalaman sosialnya. Ia menjelaskan bahwa tanpa wadah partisipasi yang sehat, energi kolektif mereka berisiko tereduksi menjadi amarah semata. “Fenomena ini menunjukkan bahwa kaum muda tidak apatis, melainkan memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu keadilan sosial,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa tekanan sosial dan ekonomi yang semakin berat membuat masyarakat, khususnya anak muda, menghadapi ketidakpastian dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini diperparah oleh rasa tidak percaya terhadap pemerintah yang dianggap gagal memenuhi harapan. Dalam situasi demikian, demonstrasi menjadi kanal ekspresi yang dianggap paling logis dan mudah diakses. “Tekanan sosial yang dialami generasi ini, baik karena faktor ekonomi maupun hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah, membuat aksi di jalan menjadi saluran yang dianggap wajar,” katanya.
Lebih lanjut, Faturochman menilai bahwa solusi dari persoalan ini tidak cukup berhenti pada empati sesaat dari para pemimpin. Ia menekankan perlunya penghormatan yang nyata terhadap rakyat sebagai aset utama bangsa. Baginya, penghargaan yang tulus terhadap potensi rakyat akan memperkuat legitimasi pemerintah dan menjaga stabilitas politik jangka panjang. Ia mengingatkan bahwa tanpa sikap hormat, relasi antara pemimpin dan rakyat akan rapuh dan mudah retak. “Yang lebih mendasar dari empati adalah rasa hormat. Rakyat ini punya potensi besar, dan ketika tidak dihormati, maka kepercayaan akan hilang,” ujarnya.
Melalui perspektif ini, demonstrasi yang marak belakangan perlu dipahami sebagai peringatan bagi negara agar lebih peka terhadap suara rakyat. Situasi ini menuntut pemimpin untuk membuka kanal komunikasi yang lebih jujur dan transparan agar keresahan publik tidak semakin menumpuk. Jika hal itu diabaikan, maka energi sosial yang muncul berpotensi berubah menjadi konflik yang lebih besar. Sebaliknya, apabila aspirasi dikelola secara terbuka, gerakan masyarakat justru bisa menjadi modal sosial yang memperkuat demokrasi. Faturochman mengingatkan bahwa energi publik dapat menjadi kekuatan konstruktif jika dikelola dengan bijak, bukan ditekan secara represif. Ia menegaskan bahwa keberanian pemimpin untuk mendengar sekaligus menghormati rakyat adalah kunci utama dalam mengembalikan kepercayaan publik.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Firsto dan Salwa