
Pariwisata alam berbasis petualangan terus mengalami peningkatan popularitas dalam beberapa dekade terakhir. Gunung sebagai lanskap yang menjanjikan keindahan sekaligus tantangan, kini menjadi destinasi favorit para wisatawan lokal hingga mancanegara. Namun, lonjakan kunjungan tidak selalu diimbangi dengan kesiapan sistem keselamatan. Dalam dua bulan terakhir, Gunung Rinjani sebagai salah satu destinasi pendakian paling populer di Indonesia mengalami dua insiden yang menyita perhatian global. Seorang wisatawan asal Brasil meninggal dunia pada akhir Juni silam, sementara Rabu (16/7) seorang warga negara Swiss terjatuh di jalur pendakian dan mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuh. Peristiwa ini menegaskan kembali pentingnya mitigasi risiko dalam pengelolaan wisata alam.
Prof. Dr. M. Baiquni, M.A., Guru Besar Fakultas Geografi sekaligus Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada menilai bahwa Gunung Rinjani memiliki karakter topografi yang tidak bisa dianggap remeh. Berdasarkan pengalaman pribadinya mendaki Rinjani tahun 1983, ia menjelaskan bahwa medan yang terbentuk dari aktivitas vulkanik menghasilkan tebing curam, kaldera tajam, dan paparan gas sulfur yang beresiko tinggi bagi pendaki pemula. “Gunung Rinjani terbentuk dari intrusi magma yang mengangkat Pulau Lombok. Kaldera yang curam, tebing-tebing tajam, serta keberadaan danau Segara Anak membuatnya berbeda dari pegunungan non-vulkanik seperti Alpen atau Andes,” ungkapnya, Kamis (17/7).
Bagi Baiquni, risiko pendakian bukan semata berasal dari kondisi fisik gunung, tetapi juga ketidaksiapan psikologis dan kurangnya edukasi bagi wisatawan. Banyak pendaki yang menganggap medan Rinjani sama dengan gunung-gunung populer lainnya, padahal medan vulkanik memiliki potensi bahaya berbeda. Tanpa pemahaman yang cukup, reaksi tubuh terhadap lingkungan ekstrem dapat menyebabkan keputusan yang keliru dan membahayakan. “Wisatawan yang belum terbiasa dengan karakter gunung vulkanik bisa linglung bahkan halusinasi ketika terpapar sulfur atau saat berada di ketinggian dengan oksigen tipis,” tambahnya.
Pendakian menurut Baiquni bukan hanya soal kekuatan fisik melainkan kemampuan mengelola ego dan emosi. Ia juga menyoroti pentingnya pembinaan mental dan kesadaran diri karena pendakian bukan soal menaklukkan alam tetapi lebih kepada mengelola hasrat dan batas. Dalam konteks ini, pendakian menjadi ruang kontemplatif yang menantang pelakunya untuk mengenali dirinya sendiri. Tanpa pengendalian diri, keinginan mencapai puncak bisa berubah menjadi sikap nekat yang justru membawa risiko fatal. “Saya selalu ingat quote dari Reinhold Messner, it’s not the mountain we conquer, but ourselves,” ucap Baiquni.
Lebih lanjut, Baiquni menjelaskan, dalam manajemen destinasi, Rinjani sebenarnya telah menerapkan sistem buka-tutup jalur berdasarkan musim. Penutupan jalur saat musim hujan merupakan strategi konservasi sekaligus pencegahan kecelakaan akibat cuaca ekstrem. Namun demikian, ia mencatat masih adanya wisatawan yang nekat melanggar aturan ini bahkan menyusup masuk jalur pendakian yang belum dibuka resmi. “Biasanya Januari hingga Maret ditutup. Ini bagian dari strategi visitor management yang sangat penting, agar unsur alam bisa pulih dan pendaki bisa merencanakan kunjungan dengan aman,” ujarnya.
Teknologi, menurut Baiquni, telah membantu sistem navigasi dan informasi spasial, namun tidak menggantikan pentingnya pengalaman dan insting lapangan. Penggunaan peta digital atau aplikasi cuaca perlu didukung dengan pelatihan dasar survival dan etika tim. Ia mendorong agar pelatihan dasar seperti diklatsar, tali-temali, dan pembacaan medan dijadikan prasyarat pendakian, terutama bagi wisatawan asing yang belum familiar dengan ekosistem gunung Indonesia. “Beda alat, beda naluri. Kadang orang terlalu fokus pada puncak sampai lupa diri,” tuturnya.
Dalam menghadapi perubahan iklim, sistem mitigasi perlu lebih adaptif dan prediktif. Baiquni mengingatkan bahwa membaca tanda-tanda alam tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada pemahaman lokal dan intuisi alami. Ia melihat pentingnya penggabungan antara sains modern dan kearifan lokal dalam mengelola risiko di wilayah pegunungan. “Kita diberi indera, nalar, dan nurani. Gunakan itu untuk membaca tanda-tanda alam, seperti awan, arah angin, dan pola kabut,” tegasnya.
Sebagai bagian dari refleksi, Baiquni menyampaikan lima pilar penting dalam membangun sistem mitigasi risiko wisata gunung. Pilar pertama adalah klasifikasi pendaki berdasarkan tingkat pengalaman dan pelatihan. Pengelola harus mampu membedakan mana pendaki pemula, mana yang sudah mengikuti pelatihan dasar, dan mana yang profesional. “Kalau bisa, sistem ini dibuat transparan sejak awal. Kalau dia pemula, maka wajib pakai guide dan membawa perlengkapan standar. Kalau sudah berpengalaman pun, sebaiknya tetap tidak mendaki sendirian,” ujarnya.
Kedua, ia menekankan pentingnya pengendalian jumlah pengunjung yang masuk jalur pendakian. Jalur-jalur ekstrem dengan medan sempit tidak boleh dilalui secara massal agar tidak menambah tekanan pada ekosistem maupun meningkatkan risiko kecelakaan. Pilar ketiga adalah pemetaan dan promosi destinasi vulkanoturisme alternatif. Dengan mendistribusikan kunjungan ke gunung-gunung lain di Indonesia yang memiliki daya tarik serupa, tekanan terhadap Rinjani bisa dikurangi. Selanjutnya, Baiquni menyoroti pentingnya informasi yang transparan, baik terkait kondisi cuaca, tarif jasa porter dan guide, hingga informasi teknis tentang jalur. “Wisatawan tidak boleh membeli ilusi, mereka harus datang dengan ekspektasi dan kesiapan yang benar,” katanya.
Terakhir, ia menekankan urgensi sistem tanggap darurat yang terintegrasi, mulai dari koordinasi tim penyelamat hingga sarana komunikasi dan jalur evakuasi. Kecepatan respons dan kesiapsiagaan di lapangan menjadi kunci dalam meminimalkan dampak jika insiden terjadi. Baiquni juga mendorong agar sistem ini didukung secara institusional, tidak hanya bergantung pada inisiatif lokal atau relawan semata. Kelima pilar ini, menurutnya, menjadi pondasi bagi pariwisata alam yang bukan hanya indah, tetapi juga aman dan berkelanjutan. “Risiko tidak akan hilang, tapi bisa dikendalikan dengan perencanaan yang matang dan kebijakan yang berpihak pada keselamatan,” tegasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Lombok Post