
Hari Malaria Sedunia diperingati pada 25 April setiap tahunnya sebagai pengingat bahwa Malaria masih menjadi ancaman yang nyata. Meski angka kasus di berbagai wilayah di Indonesia telah menurun, tren dalam dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2024, estimasi kasus Malaria nasional mencapai hampir satu juta kasus yang menandakan bahwa eliminasi Malaria belum tercapai sepenuhnya.
Guru Besar Bidang Parasitologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) sekaligus peneliti Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM Prof. dr. E. Elsa Herdiana Murhandarwati, M.Kes, Ph.D mengatakan Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium, yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. betina. Parasit ini masuk ke aliran darah dan menyerang sel darah merah, menyebabkan gejala seperti demam periodik, menggigil, nyeri kepala, dan kelelahan. “Berbeda dengan nyamuk Aedes yang menularkan demam berdarah dan aktif di pagi hingga sore hari, nyamuk Anopheles sp. umumnya menggigit pada malam hingga dini hari,” kata Elsa dalam keterangan yang dikirim ke wartawan, Selasa (29/4).
Menurut Elsa, di Wilayah Indonesia bagian Timur, terutama Papua, masih menjadi episentrum penularan Malaria di Indonesia dengan kontribusi sekitar 91% dari total kasus nasional. Ia menyebut bahwa kasus Malaria di Papua perlu prioritas penanganan dari Kementerian Kesehatan. Apalagi kondisi geografis yang mendukung perkembangbiakan nyamuk Anopheles sp. seperti hutan lebat, rawa, dan genangan air alami serta terbatasnya akses layanan kesehatan di daerah pedalaman. Ditambah, distribusi tenaga medis yang belum merata, tantangan logistik serta tingginya aktivitas masyarakat di area terbuka tanpa perlindungan disebutnya memperbesar risiko penularan.
Secara umum, wilayah perbatasan negara menjadi salah satu titik rawan penyebaran Malaria. Untuk itu, PKT UGM bersama Asia Pacific Leaders Malaria Alliance (APLMA) melaksanakan riset operasional di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste. Riset ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan utama dan merumuskan solusi praktis berbasis bukti yang bisa diterapkan oleh kedua negara. Riset ini krusial sebab vitalnya lintas batas negara dalam upaya eliminasi Malaria. “Bayangkan jika satu negara sudah hampir eliminasi Malaria, tapi negara tetangganya masih tinggi kasusnya,” papar Prof. Elsa.
Kondisi tersebut bisa menyebabkan apa yang disebut “kasus impor” sehingga kerja sama lintas batas membuka peluang besar untuk berbagi informasi dan sumber daya. Misalnya, negara-negara bisa saling berbagi data kasus, mendirikan pos kesehatan bersama di perbatasan, dan melakukan deteksi dini agar penularan bisa dicegah lebih cepat.
Hasil riset kemudian ditindaklanjuti dalam kegiatan diseminasi dan pertemuan satuan tugas bersama lintas negara. Tiga intervensi utama yang dihasilkan antara lain pembangunan dashboard data lintas batas, penguatan surveilans migrasi, dan pembentukan gugus tugas bersama untuk Malaria. “Pendekatan ini menjadi strategi penting untuk memperkuat koordinasi dan komunikasi antarnegara serta menjaga keberlanjutan upaya eliminasi,” katanya.
Hari Malaria Sedunia 2025 menurut Elsa menjadi momen penting untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, peneliti, dan masyarakat dalam mengejar target Indonesia bebas Malaria tahun 2030. “Pencegahan, deteksi dini, dan kerja sama lintas batas merupakan kunci untuk mengakhiri Malaria, tidak hanya mengancam kesehatan, tapi juga menghambat pembangunan sosial dan ekonomi,” pungkasnya.
Penulis : Lazuardi
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik