Belakangan isu mengenai pemakzulan presiden kembali mencuat. Isu ini muncul sebagai respon terhadap kegaduhan yang terjadi belakangan ini terutama sejak putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, seorang anak Presiden, untuk mencalonkan diri sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto. Kali ini wacana pemakzulan Presiden muncul dari gagasan Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat yang terdiri dari 100 tokoh masyarakat yang mendesak DPR dan MPR untuk segera memakzulkan Presiden Jokowi karena diduga telah melakukan berbagai tindakan inkonstitusional.
Untuk merespons wacana tersebut, Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi dan HAM Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pandekha FH UGM) mengadakan diskusi online pada Senin (22/1) dengan tajuk “Pemakzulan Presiden: Apakah Boleh? Apakah Mungkin?”. Diskusi ini merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke 16 atau perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. Dua orang narasumber mengisi acara ini, Kuskridho Ambardi, Ph.D., Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM. Adapun diskusi dibuka oleh Yance Arizona, Ketua Pandekha FH UGM dan dipandu oleh Indah Amaliah selaku Volunteer Pandekha FH UGM.
Dalam diskusi yang berjalan, para narasumber mengungkapkan bahwa pemakzulan bisa saja terjadi dalam sebuah proses politik, tetapi perlu ada kualifikasi terhadap pemakzulan Presiden. Misalnya harus ada kualifikasi apakah seorang Presiden dimakzulkan karena perbuatan pidana, perbuatan tercela, atau alasan administrasi. Sehingga pelanggaran konstitusional yang dijadikan alasan pemakzulan presiden haruslah spesifik merupakan pelanggaran konstitusional yang diatur dalam Undang Undang Dasar dan bukan karena kebijakannya. Sedangkan dalam perspektif Politik, DPR merupakan salah satu unsur dari ketiga lembaga pemegang alur pemakzulan Presiden, maka kunci untuk meloloskan isu pemakzulan ini terletak di tangan DPR. Maka tanpa usulan DPR, isu Pemakzulan Presiden tidak akan terjadi. Perlu diketahui bahwa mekanisme impeachment dalam model Indonesia melibatkan 3 lembaga negara yaitu MPR, DPR dan MK. Sedangkan tidak bisa dipungkiri bahwa proses pemakzulan di Indonesia masih bersifat legislative dominant atau congressional model di mana letak pemakzulan sangat kental dengan lembaga MPR/DPR.
Zainal Arifin Mochtar menyampaikan. “Meskipun pemakzulan Presiden merupakan isu konstitusional yang telah diatur di dalam konstitusi, bekerjanya proses pemakzulan sangat bergantung dari dorongan politik”. Sementara itu Dodi Ambardi menilai persoalan politik di Indonesia malah sangat ditentukan oleh permasalahan ekonomi. “Keresahan ekonomi bisa menjadi pendorong bekerjanya politik, termasuk untuk mendorong pemakzulan presiden”.
“Meskipun saat ini ada banyak skandal yang terjadi, skandal tersebut belum berhasil bertransformasi menjadi kekuatan politik popular untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Sebut saja Skandal Mahkamah Keluarga, pelemahan KPK, dan tidak netralnya aparat keamanan dalam Pemilu” jelas Dodi. Beliau kemudian menambahkan, “Program Bansos, yang semula digunakan oleh mantan Presiden SBY, cukup efektif digunakan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk meredam transformasi kritik terhadap skandal yang dilakukan oleh penguasa”
Adapun dalam diskusi ini, terdapat sesi tanya jawab antara peserta dengan narasumber. Dalam merespons salah suatu pertanyaan yang dikemukakan oleh salah satu peserta diskusi, Zainal Arifin Mochtar mengemukakan perlu adanya pembatasan terhadap kekuasaan Presiden di masa transisi kekuasaan atau yang dikenal dengan istilah “lame duck”. “Di Indonesia sampai saat ini belum mengatur lebih lanjut terkait dengan praktik “lame duck” bagi kekuasaan Presiden. Sedangkan di satu sisi tidak bisa dibantah bahwa di dalam kekuasaan Presiden terdapat kekuasaan yang teramat besar sehingga praktik “cawe-cawe” menjadi sangat berbahaya.
Dalam mengatasi hal tersebut, tidak perlu dengan mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar, tetapi dapat didorong dengan Rancangan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan Zainal Arifin Mochtar kemudian melanjutkan “Berkaitan dengan pemakzulan Presiden, bobot politiknya memang harus diakui lebih besar ketimbang pertimbangan hukumnya. Oleh sebab itu, perdebatan mengenai alasan diberhentikannya Presiden dalam tataran akademis sampai hari ini masih didebatkan. Senada dengan itu, Kuskridho Ambardi mengungkap, “Di dalam kekuasaan Presiden terletak berbagai resources mulai dari anggaran, jabatan-jabatan strategis seperti Menteri dan sebagainya sehingga harus ada pembatasannya.” Kesimpulannya menurut Kuskridho Ambardi harus ada semacam aturan yang hadir untuk membatasi presiden menggunakan resources yang teramat besar untuk dikendalikan presiden. Di akhir diskusi, Ambardi menekankan betapa pentingnya pembatasan kekuasaan presiden.
Pada akhir diskusi diharapkan adanya kesadaran terhadap elite politik di tanah air untuk mendorong adanya pembatasan terhadap kekuasaan presiden di masa transisi kekuasaan. Hal ini perlu dilakukan sebab di dalam kekuasaan Presiden terletak berbagai jabatan dan anggaran yang bisa saja digunakan untuk kepentingan politik praktis. Sehingga kedepan, praktik “cawe-cawe” tidak akan menjadi momok menakutkan sebab dengan adanya pembatasan kekuasaan presiden maka di masa transisi kekuasaan presiden cenderung bisa dilumpuhkan atau dibatasi. Di satu sisi, isu pemakzulan meski secara konstitusional tersedia dan bisa ditempuh, tetapi menjadi kecil kemungkinannya apabila tidak diseriusi oleh DPR atau elite politik di Indonesia. Adapun kegiatan ini terselenggara dengan lancar dan dihadiri sekitar 100 orang melalui media zoom meeting.
Penulis: Beckham Jufian Podung