Agenda transisi energi telah dicanangkan oleh pemerintah sebagai upaya menangani dampak perubahan iklim. Fokus program pemerintah dalam hal ini adalah menurunkan penggunaan energi fosil dan mendorong transisi ke energi yang lebih rendah karbon, salah satunya adalah energi geotermal. Sayangnya, pemanfaatan energi tersebut masih di angka 11% dari total potensi yang ada.
Pakar Energi Geothermal dari Teknik Geologi UGM, Ir. Pri Utami, M.Sc.,Ph.D., IPM., menyebutkan masih minimnya pemanfaatan energi geothermal ini disebabkan pemerintah memerlukan data yang lebih akurat tentang potensi-potensi energi panas bumi di Indonesia. Pasalnya, keberadaan potensi panas bumi sangat minim terlihat di permukaan, karenanya dibutuhkan inovasi teknologi eksplorasi. Pri, demikian ia akrab disapa, memberikan sejumlah rekomendasi bagi pemerintah agar proyek berjalan aman dan tepat sasaran. “Ada hal 2 mendasar yang harus dilakukan yaitu peningkatan kualitas data eksplorasi dan peningkatan pemahaman masyarakat,” tutur Pri, Jumat (4/10).
Ia menyebutkan Indonesia sendiri memiliki potensi energi geothermal 40% dari potensi dunia, yakni sebanyak 23.965,5 Mega Watt (MW). Potensi geothermal ini tersebar merata di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, sehingga dapat dikatakan energi panas bumi berpeluang mencukupi kebutuhan energi nasional sekaligus menurunkan produksi emisi karbon.
Lebih jauh ia menjelaskan, terdapat tiga jenis sistem panas bumi berdasarkan kandungan energinya. Pertama, sistem panas bumi berentalpi tinggi, menengah, dan rendah. “Panas bumi berentalpi tinggi akan menyebarkan suhu panas ke lingkungan sekitarnya. Kita dapat mengekstrak panas yang dibawa oleh air dan uap sebagai pembangkit listrik,” jelasnya.
Dibanding dengan energi lainnya, energi geotermal memiliki kadar karbon dioksida, sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan partikel padat yang jauh lebih rendah.
Selain itu, energi panas bumi juga memiliki kelebihan dari segi keberlanjutannya. Panas bumi yang tersebar di permukaan akan dibawa oleh air hujan dan mengikuti siklus hidrologi. Secara alamiah, energi panas akan kembali ke dalam bumi. Tidak hanya itu, penginjeksian fluida yang telah diekstraksi tenaganya akan kembali ke reservoir panas bumi untuk menjamin keseimbangan panas dan massa dalam sistem panas bumi. “Serangkaian kelebihan ini menjadikan energi panas bumi sebagai energi terbarukan yang stabil,” katanya.
Namun yang tidak kalah penting dalam pemanfaatan energi panas bumi ini adalah meningkatkan pemahaman masyarakat akan potensi panas bumi. Sebab, setiap proses pengembangannya, diperlukan penyiapan masyarakat untuk dapat terlibat dalam aktivitas perekonomian berbasis panas bumi. Misalnya melalui sinergi antara sektor panas bumi dengan pertanian dan pariwisata
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan akan membangun tiga Pembangkit Listrik Tenaga Panas (PLTP) dengan total listrik sebesar 90 Megawatt (MW) sampai akhir tahun ini. Proyek tersebut nantinya akan membantu mengejar target 23% energi bauran EBT (Energi Baru Terbarukan) di 2025.
Selain dapat digunakan sebagai EBT, panas bumi juga bisa dimanfaatkan untuk pemanasan dalam proses industri, terapi kesehatan pada mata air panas bumi, hingga membantu menemukan enzim dari mikroorganisme yang hidup pada kondisi ekstrim panas bumi untuk bahan industri farmasi. Potensi luar biasa ini diharapkan mampu menyokong kebutuhan energi nasional sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi guna mendorong energi bersih di masa depan.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson