
Pemerintah berencana membuat kebijakan baru yang mengatur pembatasan kepemilikan akun sosial media. Meskipun wacana pengadaan kebijakan satu orang satu akun media sosial tersebut masih dalam proses kajian, namun sudah banyak publik menilai bahwa hal ini dapat menjadi potensi ancaman terhadap kebebasan berekspresi serta hak privasi.
Peneliti dari Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, Bangkit Adhi Wiguna, menilai penanganan penyebaran berita hoax, misinformasi, disinformasi dan konten ilegal serta berbahaya dari problem internet di Indonesia yang kurang baik, menurut Bangkit bukan dari jumlah kepemilikan akun seseorang. Sebaliknya, wacana dari kebijakan ini bagi Bangkit mengundang ketidakadilan dan cenderung membatasi kebebasan berekspresi masyarakat, sebab para pengguna media sosial yang memiliki lebih dari satu akun memiliki alasan khusus akan hal tersebut. “Sebagian dari mereka yang memiliki banyak akun media sosial punya tujuan yang penting, sebagai akun berbisnis misalnya,” katanya, Senin (29/9).
Selain itu, Bangkit juga mengkhawatirkan akan persoalan verifikasi otentikasi data yang akan dilakukan jika wacana regulasi satu orang satu akun media sosial akan terjadi. Pasalnya infrastruktur data masih sangat lemah, baik dari sisi teknologi maupun dari tingkat keamanannya. “Tapi lagi-lagi infrastruktur data kita masih sangat rapuh, masih sering kebobolan, dan kemudian juga pengelolaannya masih tidak efektif,” jelasnya.
Meskipun menurut Bangkit sendiri tujuan dari wacana kebijakan ini baik, yaitu melindungi pengguna media sosial di Indonesia dari konten ilegal dan berbahaya, namun dari desain kebijakan ini direncanakan oleh pemerintah tersebut salah. “Desain kebijakan yang dipilih itu salah, karena pola pikir dalam memandang masalahnya itu salah terlebih dahulu. Oleh karena itu, tujuan yang baik tadi, justru mengurangi kebebasan berekspresi masyarakat,” ungkapnya.
Sekali lagi, Bangkit menilai arah dari wacana kebijakan ini sudah mengarah ke pembatasan kebebasan berekspresi, bukan lagi sebagai perlindungan untuk pengguna media sosial.
Bangkit bersama tim CFDS saat ini sedang mengkaji lebih dalam untuk permasalahan ini, terkait keamanan digital sekaligus tetap menjaga ruang kebebasan berekspresi. “Kami sedang mengkaji peluang implementasi atau adaptasi model ini di Indonesia. Fokus utama kami saat ini adalah DSA karena pembahasannya lebih menekankan pada perlindungan pengguna, sedangkan DMA lebih fokus pada marketplace dan ekonomi digital,” jelasnya.
Pada standar global terdapat dua model regulasi yang dapat dicontoh, Digital Services Act (DSA) dan Digital Markets Act (DMA) dari Uni Eropa. Di Eropa sendiri, tata kelola media sosial telah diatur menggunakan model DSA, yang mana membuat lembaga pengatur media sosial relatif jauh dari kepentingan politik.
Meskipun Bangkit mengatakan model Regulasi dari DSA terkesan lebih rumit, namun hal ini tetap fleksibel jika diterapkan di Indonesia. Misalnya, untuk memutus akses atau men-take down suatu konten, fitur, atau bahkan platform secara keseluruhan, ada prosedur panjang. Selain itu, melalui model regulasi DSA mewajibkan Platform membuat laporan tahunan ke publik tentang moderasi konten, jumlah konten yang di-take down, dan parameter yang digunakan. Negara juga harus melaporkan berapa banyak konten yang mereka minta untuk dihapus. “Hal ini membuat regulasi lebih independen dan proporsional,” ungkapnya.
Penulis : Salwa
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik