Pengelolaan sampah bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah saja, namun seluruh anggota masyarakat juga memiliki kewajiban yang sama. Pasalnya, jika sampah tidak dipilah dan dikelola sejak awal oleh warga, maka suatu saat TPA memiliki kelebihan kapasitas, maka dampaknya sampah akan menumpuk dan bertebaran dimana-mana. Kesemua itu, berangkat dari belum siapnya warga masyarakat untuk terbiasa memilah dan mengolah sampahnya dari rumah tangga mereka masing-masing.
Mantan Bupati Banyumas, Jawa Tengah, Ir. H. Achmad Husein, berbagi kisah suksesnya dalam mengelola sampah di Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Banyumas menjadi salah satu kabupaten terbaik dalam pengelolaan sampah dengan persentase sampah yang dibuang ke TPA hanya 9% saja. “Jujur saja, sebetulnya lahirnya inovasi pengelolaan sampah di Banyumas karena Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang dikelola Pemda ditutup oleh warga,” ucap Achmad dalam talkshow yang bertajuk Building Sustainable Ecosystem for Future Generation. Kegiatan yang berlangsung di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) Universitas Gadjah Mada, Senin (14/10), sekaligus memperingati Hari Habitat Dunia dan Hari Kota Dunia 2024.
Achmad bercerita, pengelolaan sampah di Banyumas ini berhasil karena adanya jaminan dari Pemerintah Kabupaten Banyumas sebagai off-taker dari produk turunan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat. Pengelolaan sampah dilakukan dari hulu ke hilir ini melibatkan masyarakat untuk ikut memilih sampah dan menjualnya ke Pemkab melalui aplikasi Sampah Online Banyumas (Salinmas) dan Ojeke Inyong (Jeknyong). “Sampah itu tergantung persepsi. Kalau saya meyakinkan masyarakat, sampah ini raw material yang jika diberikan sentuhan teknologi akan menjadi revenue,” tuturnya.
Ia percaya teknologi daur ulang sampah yang canggih bisa menghasilkan produk yang memiliki nilai guna. Di Banyumas, sampah plastik terpilah akhirnya habis karena diolah dan menghasilkan Refuse Derived Fuel (RDF), paving, genting, dan juga batu bata. Sedangkan sampah organik diolah menjadi maggot dan juga pupuk kompos. Achmad mengaku bangga dengan pengelolaan sampah yang dilakukan secara mandiri melalui basis Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). “Omset KSM ini nominalnya lumayan, asalnya ya tentunya dari iuran pelanggan dan penjualan produk hasil pengolahan sampah termasuk rongsok,” tutupnya.
Sementara alumnus Fakultas Teknik UGM, Yuris Sarifudin, juga turut berbagi pengalamannya dalam mengatasi masalah pengolahan sampah di Yogyakarta. Keprihatinan Yuris berawal dari ribuan ton sampah yang diproduksi setiap hari di Yogyakarta namun pengolahannya belum optimal. Yuris mengubah sampah rumah tangga menjadi bahan baku material industri, terutama fokus pada potensi sampah plastik sebagai bahan bangunan yang kokoh dan berkelanjutan. “Proses pengolahan sampah di sini kompleks sekali karena masyarakat enggan memilah sampah dengan baik,” jelasnya.
Melalui PT Daur Ulang Indonesia yang didirikannya, Yuris bekerja sama dengan Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) di berbagai wilayah untuk mengumpulkan dan memilah sampah yang nantinya disagregasi dalam alat mekanik untuk mendapatkan bahan baku yang dibutuhkan dalam membuat material industri. “Kebanyakan sampah plastik. Kami cacah, dilelehkan, kemudian dicetak menjadi balok atau papan yang bisa digunakan untuk pengganti kayu,” ucap alumni Teknik Arsitektur ini.
Dosen Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik UGM, Ir. Wiratni, S.T., M.T., Ph.D., IPM yang bertindak sebagai moderator dalam talkshow tersebut berujar bahwa permasalahan sampah di Indonesia bersifat multidimensional, sehingga membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak untuk mengatasinya. Hal ini tentu bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah saja, namun seluruh anggota masyarakat juga memiliki kewajiban yang sama. “Bahkan gerakan masyarakat dari lingkungan terkecil pun dapat menjadi solusi dalam menangani masalah tata kelola sampah,” tutupnya memberikan konklusi.
Penulis: Triya Andriyani