Praktik otonomi daerah dan politik lokal di Indonesia sebagai bentuk dari tujuan dilaksanakannya desentralisasi pemerintahan yang diharapkan bisa mendorong peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat secara signifikan. Namun dalam prakteknya, kebijakan desentralisasi pemerintahan belum diberikan secara penuh dan cenderung diterapkan simetris dengan kondisi daerah yang beragam. Oleh karena itu, pemerintah diminta lebih optimal mengelola kebijakan desentralisasi dan mampu menjalankan program keberlanjutan lingkungan.
Hal itu mengemuka dalam Bulaksumur Roundtable Forum (BRF) yang bertajuk Mengelola Dilema Desentralisasi dan Sustainability Jumat, 20249/8), Balai Senat Balairung UGM . Kegiatan yang diadakan oleh Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM melalui Collaborative Hub for Politics and Policy on Sustainability (CoPPS) UGM ini merupakan sebuah pertemuan yang dihadiri akademisi, aktivis, jurnalis, dan pejabat pemerintah untuk mendiskusikan topik aktual yang terjadi di masyarakat.
Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Dr. Abdul Gaffar Karim, M.A., forum ini secara khusus ditujukan untuk mengidentifikasi masalah dan tantangan serta mengevaluasi praktik otonomi daerah dan politik lokal di Indonesia. Selain itu, adanya program ini juga mengusung tujuan sebagai perumusan langkah-langkah strategis untuk mengembangkan otonomi daerah serta mendukung kolaborasi dan kemitraan multipihak dalam mendorong keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan. “Indonesia memiliki banyak mimpi, tetapi tidak semua perwujudan tujuan tersebut mendukung satu sama lain. Desentralisasi, misalnya, dapat menjadi dilema bagi kesejahteraan lingkungan hidup,” ungkapnya.
Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A., menuturkan gagasan sustainability memang gagasan yang rumit di tengah era pelaksanaan otonomi daerah, tetapi di Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan ingin membuat sustainability tetap terjaga dan kehendak politik yang ada di pusat dapat didesentralisasi dengan baik.
Guru Besar UGM Prof. Dr. Haryanto, M.A., menuturkan banyak faktor yang menyebabkan desentralisasi pemerintahan menjadi tidak berjalan dengan baik di daerah dikarenakan aturan kebijakan desentralisasi diperlakukan secara simetris dengan kondisi daerah yang beragam. “Akibatnya ada daerah yang mampu dan tidak mampu untuk mengelola otonomi yang diberikan dan berimbas pada munculnya kesenjangan antara daerah,” paparnya.
Direktur Politik Dalam Negeri Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Syarmadani mengakui kebijakan negara mengenai otonomi daerah pasang-surut, terkadang lebih condong ke arah sentralisasi dan sebaliknya.
Sementara Deputi Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Negara (IKN) Dr. Thomas Umbu Pati Tena Bolodadi, menyebut pemerintahan di IKN belajar dari sejumlah hal yang sudah berlangsung di pemerintahan lokal dan memastikan proses pembangunan di IKN sudah sesuai dengan lima elemen pembangunan. Ia berujar, “Isu sustainable dan green menjadi menarik dan hari ini kami sudah terapkan secara konseptual di IKN,” katanya.
Sedangkan Neneng Goenadi, Country Managing Director Grab Indonesia, memberi paparan mengenai kolaborasi peran pemerintah dan industri dalam konsep sustainability. Neneng menjelaskan perkembangan teknologi hari ini sangat cepat dan memberikan ruang penyusunan regulasi sangat sedikit. “Saya kira pemerintah dan industri perlu untuk berkolaborasi dan bekerja sama agar tetap adaptif dengan perkembangan teknologi,” jelasnya.
Silverius Oscar Unggul, Wakil Ketua Umum Bidang Lingkungan Hidup Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, mengatakan isu sustainability merupakan sebuah keharusan bagi KADIN. Ia memaparkan bahwa dengan tidak melakukan sustainability, Indonesia akan kehilangan beberapa hal yakni pasar dan investasi. “Pasar dan investasi menjadi tekanan untuk Indonesia dalam melaksanakan sustainability,” sebut Silverius.
Penulis : Lazuardi
Editor : Gusti Grehenson